Wednesday 21 August 2013

We Are The 21st Ambassadors of Peace & Magic (2013) : Memori Dalam Balutan yang Trendi



Selera musik saya ini bermula dari tumpukan kaset milik ayah di gudang rumah saya. Dan layaknya pemuda Indonesia yang mengalami masa mudanya berada di era 70-an, The Beatles dan Deep Purple menjadi idolanya. Nama merekalah yang terpampang di beberapa kaset lusuh yang membuat saya tertarik untuk mendengarkannya. Virus-virus audio ini mengancam saya, dan kalau meminjam kata-kata teman saya antibodi dalam tubuh saya tak sanggup untuk menahannya. Bertahun-tahun setelah berlabuh pada daratan audio ini dan berbagai ekspedisi telah banyak dilakukan, selera saya pun berkutub pada dunia masa lalu terutama dekade 60 dan 70. Sehingga tak banyak musik masa kini yang saya kenal.


Berbeda ceritanya dengan band yang satu ini, peribahasa "cinta pada pandangan pertama" mungkin saya plesetkan menjadi "cinta pada pendengaran pertama". Irama catchy disertai kedinamisan tempo hits "Shuggie", mengganggu dan memaksa saya bertanya pada teman saya lagu milik siapa yang diputarnya. Arah navigasi ekspedisi terbaru ditetapkan.

Album ini menambah beberapa band masa kini di music library saya. Duo Sam France dan Jonathan Rado ini memang tak jauh-jauh kutub permusikannya dengan selera musik saya. Dua bocah nakal melakukan eksperimentasi warna suara psikedelia di dalam kemasan yang trendi atau mungkin singkat kata saya selalu ingin menyebut genre mereka sebagai "Neo psych nan jahil".

Pencarian identitas bermusik mereka telah dilakukan sejak awal masa pubernya dengan menghasilkan 36 track yang memamerkan keliaran akan penggunaan alat musik ibarat balita bertemu dengan mainan-mainan barunya. Penggunaan secara etis maupun tidak, beragam alat musik asing yang konon mereka beli dengan bantuan kecanggihan koneksi jejaring jual beli ini, menjadikan arus kuat untuk membawa pendengar terhisap lebih dalam pada lubang hitam yang telah mereka gali. Atau bisa pula seperti saya yang tak mengikuti arus sequence-nya tergoda untuk mengenal mereka lebih dalam melalui album ketiganya yang sudah matang lalu melakukan napak tilas ke titik awal duo indie ini. 

Tidak jauh berbeda dengan album debut, penggunaannya kini disajikan lebih efisien dengan menempatkan unsur lain selain alat-alat musik melainkan paduan suara anak pada "On Blue Mountain", atau dialog sahut-sahutan antara vokal dan vokal latar pada single "San Fransisco", sedangkan synthesizer dan efek vokal sebagai jawaban dari efisiensi alat musik yang digunakan. Namun jika masih ingin mendengar beberapa asupan audio dari permainan mereka pada alat musik asing, mereka tetap menawarkan satu track instrumental "Bowling Trophies" dibungkus dalam sound reverb yang tebal dan "In The Darkness" yang agak mengingatkan saya pada lagu pembuka album nomor 1 versi Rolling Stones, "Sgt. Peppers Lonely Hearts Club Band". Tak terlalu mengejutkan bila kunci-kunci blues hampir tersemat di setiap lagu untuk membantu membentuk suasana retro. Tapi pergantian tempo yang tiba-tiba seperti pada "On Blue Mountain", "Shuggie", "We Are The 21st Century Ambassadors of Peace & Magic" , praktis membuat saya terkejut tak yakin pembawaan musik progresif terbawa pada bocah 22 tahun yang kekininan. Momen ini mengulang "TV Pro" milik "The Vines" yang berhasil merebut perhatian saya. 

Di satu sisi vokal Sam France tidak memiliki nilai yang menarik namun pembawaaanya yang tak berselera menyajikan memori akan Lou Reed dan balada-balada awal Rolling Stone (Rasa seperti ini sudah pernah terjadi sebelumnya di Indonesia ketika Deddy Stanzah menyanyikan "It's All RIght" untuk album duetnya bersama Gito Rollies) yang kental terasa di "No Destruction" dan versi lebih genitnya pada "San Fransisco". Terkadang rasa Serge Gainsbourg dan "French pop" nya pun membahana pada cara bernyanyi Sam yang seperti bertutur kata.

Beberapa unsur di atas ini dapat tersusun dengan baik tanpa membentuk fraksi, melainkan menghasilkan sebuah keseimbangan antara suasana tempo dulu dengan balutan sound zaman sekarang, bahkan bisa dibilang masa depan. Namun tanpa ofensif, secara lirikal album ini sama halnya dengan rata-rata band yang lahir di era millennium, nonsens dan deskriptif. 

Kekayaan eksplorasi yang duo ini tunjukkan mampu mengatasi segala kekurangannya dan menjadikan kejutan dan memori di setiap nomornya sebelum mencapai titik klimaks psikedelia trendi pada "We Are The 21st Century Ambassadors of Peace & Magic". Virus dyslexia dan rhythm repetitif Mothers of Invention pada "Help I'm a Rock" menjadi buku panduan permainan mereka sebelum beralih pada tempo yang lebih lambat untuk segera melesat kembali. Dua kali gangguan digital audio sesaat sebelum fase interlude yang dimeriahkan oleh tepukan tangan berlanjut pada outronya yang lemas  mengantarkan pada tembang galau "Oh No 2" yang membawa perjalanan "spiritual" kepada sebuah solusi di penghujung album.


"If you believe in love 
Everything you see is love 
So try to be what God wants you to be 
And say that I love you again"


Sangat frontal memang memasang embel-embel atau menjuluki diri pada sebuah judul album. Walaupun saya tidak menyetujuinya 100%, namun bolehlah sebuah jabatan "duta abad 21" bagi "peace & magic" -yang identik akan era hippie- tersemat pada kedua bocah berandalan ini. Namun saya akan tunggu bagaimana hasil periode menjabat mereka selanjutnya. Jangan kecewakan!






No comments:

Post a Comment