Tuesday 10 September 2013

Hanja Ada Satu / Tahu Tempe (1958) : Menjaga Eksistensi Tahu Tempe


Obrolan makan siang saya tertuju pada sebuah topik yang sedang "in" di berbagai headline-headline berita baik itu media massa maupun media elektronik. Miris memang, tahu dan tempe yang merupakan makanan asli rakyat Indonesia telah diberhentikan produksinya dalam beberapa hari ini. Aksi mogok mengancam para produsen tahu tempe karena harga kacang kedelai impor sebagai bahan utama yang naik tajam ulah nilai kurs dolar yang sedang menguat. Mungkin tak perlu saya berkoar detail-detail, karena berita mengenainya sudah banyak tercetak di berbagai surat kabar.

Di tengah obrolan ini, saya teringat satu lirik pada tembang "Tahu Tempe" yang dinyanyikan biduan legendaris milik negeri ini, Oslan Husein. 

"Tahu tempe kacang kdele
itu makanan utame.
Dimasak pake minyak kelape
hidangan rakyat jelate."

Lirik-lirik ini terasa sangatlah ringan, deskriptif nan banal untuk dijadikan tema sebuah lagu. Terkadang teman saya membuat lirik-lirik milik Oslan Husein ini sebagai lelucon. Setelah menghadapi obrolan berisi di tengah hari ini, kabel-kabel memori amburadul pada otak saya tiba-tiba saja saling menyambung dan tersusun lebih rapi. 

Tahu tempe ini layak untuk dijadikan tema sebuah lagu. Lagu ini akan menjadi bukti nyata bahwa tahu tempe pernah menjadi makanan murah dan beredar luas di negeri ini. Dengan adanya peristiwa ini kekhawatiran eksistensi tahu dan tempe di masa yang akan datang patut dipertanyakan. Siapa tahu anak cucu kita tak akan pernah kenal rasanya. Tak perlulah saya membicarakan rasanya enak atau tidak karena itu sangat subyektif. Namun dengan lagu ini kita tahu bahwa tahu-tempe punya rasa yang cocok dengan lidah orang Indonesia. Simak pula penggalan celotehan Bang Oslan dan kawannya di tengah lagu:

"Tahu, tahu, tempe?/ Berapaan tuh bang?/ 5 perak./ Bungkus 3 deh bang!"

Dialog ini menegaskan bahwa merakyatnya makanan tahu dan tempe itu dahulu. Terbayang pula bahwa di era Bung Karno yang anti kapitalisme/imperialisme sudah jelas impor kacang kedelai tak pernah ada. Paham Marhaenisme milik beliau menginjeksi masyarakat untuk percaya dan bangga menggunakan produk lokal. Seiring berjalannya waktu paham ini bergeser hingga bukan hanya gaya hidup saja yang berkiblat dari barat, tapi tahu dan tempe pun kini gengsi ikut-ikutan tren barat.

Nah, untungnya di album yang memuat lagu "Tahu Tempe" ini, Bang Oslan sudah siap mengantisipasi datangnya rasa gengsi dari makanan-makanan khas jenis lain. Di nomor awal rasa segar "Es Mambo" sudah membuat ngiler para pendengar. "Singkong Rebus" yang empuk dengan kopi seteguk, serta "Nasi Djagung" jelas-jelas membuat perut kenyang di akhir album. Ada pula "Nasi putih sayur labu/ sambel tempe sama tahu" pada penggalan lirik "Sepiring Nasi" yang membuat kita harus kendalikan hawa nafsu. Kembali tahu dan tempe tersebut di nomor "Sandang Pangan"  semakin menegaskan begitu merakyat dan khasnya makanan jenis ini. 

Di samping itu berbagai budaya khas lain diangkat pula untuk dijadikan partner aransemen musik yang aduhai. Mulai dari nomor legendaris "Lebaran" dengan nuansa Timur Tengah, hingga kehirukpikukan suasana "Bis Kota" di ibukota Jakarta melengkapi album yang diiringi oleh orkes Widjaja Kusuma pimpinan M.Jusuf. Kesemuanya itu disajikan dalam musik yang menarik dengan denting glockenspiel, petikan gitar serta permainan apik piano sebagai instrumen utama. Berbagai celotehan di berbagai seksi lagu pun menghiasi beberapa lagunya. Berbagai ritme Latin seperti bossa atau cha-cha menjadi solusi alternatif irama rock n'roll yang dihindari untuk membungkus pola standar lagu nge-pop seperti pada nomor "Sorangan Wae" yang ironinya ditembangkan dengan bahasa Sunda. 

Pada musik Indonesia masa kini mungkin tak akan ditemukan lagi lirik-lirik semacam tahu dan tempe. Bahkan jika jenis makanan masa kini seperti fast food pun dijadikan tema sebuah lagu, saya agak risih membayangkannya. Apa yang ada di bayangan Bang Oslan ini sungguh berani karena hasil sajiannya bukan hanya menarik secara audio tapi tema ini dapat bertahan hingga kini.  Jadi kita patut berterima kasih kepada biduan kelahiran Padang yang mempopulerkan tembang "Andetja Andetji" ini karena dengan adanya album ini kita masih dapat menikmati tahu dan tempe dengan cara yang lain.

"Tahu tempe orang kate
Itu díe lah namanye.
Makanan kite yang istimewa
adanya di Indonesia"






Saturday 7 September 2013

Titik Api (1976) : Karya Tren Gaya Hidup 70-an



Menanggapi hari raya para kolektor musik rilisan kaset "Cassette Store Day" pada tanggal 7 September 2013 tak sanggup menahan diri untuk menceritakan sebuah album format kaset yang pernah ramai di ranah industri musik Indonesia. Sebuah kerja sama antara majalah populer terkemuka dengan musisi muda yang merupakan cucu dari pujangga kenamaan Indonesia, Marah Rusli. Djauhar Zaharsyah Fachrudin Roesli yang kita kenal dengan Harry Roesli, seorang budayawan yang dikenal brewokan dan baju serba hitam sebelum era mentalis Deddy Corbuzier. Karya-karyanya yang ceplas-ceplos memang sangat "Bandung pisan!" menjadi karakternya sedari muda. Ulahnya memang tak pernah ada matinya hingga julukan "Si Biang Bengal Bandung" atau "Si Budak Bangor" disematkan padanya.


Harry Roesli muda pun sama dengan pemuda pada zamannya yang gandrung ngeband bersama teman-teman satu gang-nya. Adalah The Gang of Harry Roesli dengan satu-satunya rilisan piringan hitamnya, "The Philosophy Gang", kini menjadi bongkahan emas para kolektor.
"Musik mikir" progresif yang kala itu sedang menjamur sangat menginfluens sehingga kata "putus sekolah" pun menjadi sebuah keputusan yang mengejutkan bagi seorang mahasiswa Teknik Mesin ITB ini. Akhirnya beliau melanjutkan sekolahnya di IKJ dan keahlian bermusik untuk menembus jajaran progresif pun dibayar dengan sekolah musik elektronik di Belanda.

Tak hanya pada diri Harry Roesli saja, budaya populer yang saat itu melanda Indonesia sangat banyak membentuk berbagai gaya hidup yang baru. Sebuah majalah populer dengan nama Aktuil merupakan salah satu imbas positifnya. Mulai beredar sejak tahun 1967 menghasilkan berbagai jurnalis musik hingga budayawan terkemuka yang kini menjadi panutan saya. Saya sendiri agak bingung dengan kondisi negara saat itu bila membaca majalah Aktuil tersebut. Di balik kisah utama yaitu dunia hiburan terselip kata-kata vulgar nan berani yang akan memicu sifat rebel anak muda saat itu bisa beredar bebas di pasaran Orde Baru yang terkenal sangat menutup mulut pers. Bisa dibilang inilah majalah populer terbaik yang pernah ada di negeri Ibu Pertiwi.

Sebuah lagi tren gaya hidup baru tahun 70-an. Media rekaman saat itu memang berpusat pada piringan hitam, namun datangnya format kaset musik tahun 1965 oleh Mercury Records menjadikan media audio alternatif di era tersebut. Indonesia yang sebagian merupakan negara berkembang dengan penduduknya yang berekonomi menengah memilih kaset sebagai format utama untuk mendengarkan rekaman musik. Hukum Indonesia yang lemah (dan memang hingga saat ini) menjebak kreativitas anak muda untuk membuat kaset bajakan hasil rekam sendiri. Perusahaan rekaman sistem ini merebak hingga muncullah nama-nama seperti Yess, Mona Lisa, serta Apple Records dan masih banyak lagi di kota-kota besar Indonesia. (Nama-nama besar ini mati setelah klaim Bob Geldof akan peristiwa dibajaknya konser donasi Live Aid).

Tren-tren ini akhirnya berujung pada sebuah mahakarya album "Titik Api". Kerja sama antara perusahaan majalah Aktuil dan Harry Roesli yang sama-sama berdomisili di Kota Bandung direkam di sebuah kaset stereo berdurasi 60 menit. Di album ini Harry Roesli mengikut sertakan teman-teman dari gangnya seperti Albert Warnerin, Hari Pochang, dan Indra Rivai, teman-teman "ngabaong" lainnya serta puluhan alat musik modern dan tradisional. Saya melihat pula nama Kania dari Kelompok Sinden Kharisma pada urutan nama paduan suara yang menciptakan praduga bahwa wanita ini merupakan istri Harry Roesli di kemudian hari. (Ada yang tahu kebenarannya?)

Konsep wayang menjadi konsep utama pada album ini. Artwork berupa gunungan, kata nayaga, sinden, sinden pengiring, serta wadytra tertera menjadi kata ganti jabatan susunan pemain, serta pembagian babak menjadi ide pembagian sisi pada kaset terlihat dengan adanya track "Prolog" dan "Epilog" di awal dan akhir sisi kaset. 

Penggunaan suara-suara absurd dari barang sehari-hari menjadi produk "baong" Harry Roesli di awal dan akhir album. Di awal "Sekar Jepun" terdengar suara deritan pintu berkali-kali, sedangkan pada akhir Epilog sisi kedua terdengar renyahnya bunyi kerupuk. Musiknya sangat jelas menjadi ajang unjuk gigi keahlian mereka serta akulturasi dengan musik etnik terutama Sunda. Berbagai lagu tradisional diangkat kembali dengan musik yang modern nan intens seperti nomor "Sekar Jepun", "Jangga Wareng", "Kebo Jiro" serta "Lembe-Lembe".

Adapula nomor "Merak" yang merupakan reissue dari "Peacock Dog" pada album "Philosophy Gang". Akumulasi Genesis-Yes versi Jawa etnik menjadi bagian pada nomor "Kebo Jiro". Lirik-lirik puitis dengan gaya bahasa metafora bertemakan kondisi tanah air teraktual masih menjadi senjata ampuh mengulang sukses lagu "Malaria". Gitar-gitar groovy Albert Warnerin terkadang mengajak bergoyang di tengah-tengah ramainya musik-musik etnik disambut pula dengan rentetan harmonika Harry Potjang. Suguhan musik balada pun disampaikan pada nomor ke-4 sisi ke 2 album yang direkam di Maestro Rec Studio di bilangan Bandung dengan judul "Semut".

Nomor "Lembe-Lembe" begitu meriah dan menyenangkan dengan penggunaan berbagai alat tradisional sebagai melodi utama. Inilah "Lembe-lembe" yang saya dengarkan pertama sebelum adanya gerakan aransir ulang kembali pada lagu daerah yang sukses dilakukan oleh White Shoes and The Couples Company" baru-baru ini. Inilah yang diharapkan oleh Harry Roesli dengan pembuatan album ini dan semoga gerakan-gerakan seperti ini kembali merebak dan mengingatkan para muda-mudi untuk menghargai musik asli milik tanah air.

Produksi kaset yang sangat terbatas serta kualitas musik yang dibuat oleh Harry Roesli dkk membuat album ini kini menjadi buruan para kolektor rilisan fisik. Transaksi pada "Cassette Store Day" hari ini pun pasti mengikutsertakan album legendaris ini dengan bandrol tinggi. Untuk itu saya ingin mengucapkan "Selamat berburu!" bagi para kolektor dan "Selamat datang kembali!" pada rilisan format kaset.

Tuesday 3 September 2013

"To The So Called The Guilties" & "Djadikan Aku DombaMu" (1967) : Bukti Murni Label "The Beatles Indonesia"


Tak bisa dipungkiri kedatangan Metallica kemarin begitu menarik perhatian semua orang. Begitu juga dengan saya, namun sayang secara pribadi tak bisa merasakan animo masyarakat secara langsung apalagi menghadiri konser megah yang disinggahi pula oleh orang nomor satu DKI Jakarta, Bapa Joko Widodo alias Jokowi. Sebuah topik mengenai pemberian sebuah gitar bas milik Robert Trujillo kepada Pak Jokowi mengawali berbagai hingar bingar di media massa dan elektronik yang menghasilkan isu-isu menarik, menuai pro dan kontra, serta mengundang segudang tanya. Namun ketika saya mencoba menikmati animo imitasi melalui canggihnya dunia maya, saya dikejutkan oleh satu kabar berita yang bisa dibilang tak ada hubungannya dengan berbagai atribut hitam-hitam dan raungan distorsi James Hetfield. Kabar ini datang dari pemuda-pemuda yang membesut tembang-tembang "ngak-ngik-ngok" The Beatles dan strategi pemasaran ala kekeluargaan "Everly Brothers", Koes Bersaudara atau yang di kemudian hari dikenal dengan Koes Plus.

Diberitakan 3 jenderal sisa-sisa perang industri musik Indonesia, Yon Koeswoyo, Yok Koeswoyo, serta Kasmurry atau dikenal dengan Murry merencanakan sebuah reuni di bulan September mendatang di Kota Solo dan Jakarta. Wacana ini tidak menjadi isu belaka dengan hadirnya mereka di salah satu acara di Malang untuk mengawali 2 buah konser nostalgia generasi 70-an. Memang kemampuan mereka sudah dibatasi oleh umur, jauh berbeda dengan kondisi personel Metallica yang walaupun berumur masih tetap tampil gila. Tapi kesamaan nilai ada pada momen ini, "Kapan lagi bisa lihat mereka?" sehingga tak muluk-muluk jika konser legenda Indonesia ini disandingkan dengan dewanya para headbangers. Maka dengan berat hati dan mohon maaf kepada para penggemar Metallica, izinkan saya bercerita panjang lebar mengenai 2 buah album Koes Bersaudara. (Tunggu tanggal mainnya untuk para penggemar Metallica.)

1967, merupakan tahun penting pada industri musik dunia. Berpuluh-puluh album meluncur untuk didengar para audiens dan di kemudian hari menjadi permata yang dicari-cari oleh setiap generasi selanjutnya. Tersebutlah, "Disraeli Gears" milik Cream, album debut David Bowie, duo album awal milik The Doors, "The Doors" dan "Strange Days", album debut The Jimi Hendrix Experience "Are You Experienced" dan Pink Floyd "Piper at The Gates of a Dawn", album akar dunia progresif The Nice "The Thoughts of Emerlist Davjack", album pop art Andy Warhol "Velvet Underground and Nico" hingga duet album sejarah terbesar musik abad 20 "Sgt. Peppers Lonely Hearts Club Band" dan Magical Mistery Tour". Daftar ini akan membuat satu buah judul baru untuk review ini karena masih banyak lagi album yang saya sengaja tak sebut. Tapi jika bercerita dengan konteks dalam negeri, rasanya ada yang kurang pada daftar tersebut. Ya, setelah sempat meluncurkan berbagai single, EP dan satu album debut di tahun 1965, Koes Bersaudara meluncurkan 2 buah album legenda Indonesia. Pertama, "To The So Called The Guilties" dengan cover album meniru "With The Beatles", lalu dilanjut dengan album EP piringan hitam 10 inci "Djadikan Aku Domba-Mu". 

Nama Koes Bersaudara ini sudah berada di atas angin hingga ketika puncaknya bersamaan dengan puncak kondisi pemerintahan di tahun 1965. Karirnya ini dirintis sedari kecil ketika Tonny Koeswoyo membentuk band di tahun 1952 bernama Teenager's Voice yang kemudian berganti nama menjadi Irama Remaja. Konon, Sophan Sophian, aktor kenamaan di era 70-an, sempat menjejakan kaki di Irama Remaja ini. Tak lama Koes Brothers menjadi nama pilihan mereka dengan terselip kembali satu nama legenda di luar keluarga Koeswoyo yaitu Jan Mintaraga, yang di kemudian hari dikenal sebagai komikus.

Di awal tahun 1960 panji Koes Bersaudara pun diusung anak-anak dari kota Tuban ini. Awal karir rekamannya berawal ketika mereka mencoba melamar kepada Mas Yos dengan nama lengkap Soejoso Karsono, pemilik perusahaan rekaman pertama di Indonesia, Irama Records. Lamaran tersebut diterima setelah dilakukan audisi oleh Jack Lemmers yang merupakan penata musik dan music supervisor Irama Records pada saat itu. Koes Bersaudara datang membombardir ketenaran penyanyi solo Rachmat Kartolo, Jules Fioole,  serta Alfian dengan membuat segudang singles seperti Bis Sekolah, Pagi Jang Indah, Selalu, Awan Putih, serta Kuduslah Tjintamu. Di tahun 1965 Koes Bersaudara berkesempatan untuk merilis album debutnya dengan hitsnya "Dara Manisku" serta beberapa hits yang telah direkam sebelumnya.

Satu kontroversi yang biasa orang salah tangkap. Koes Bersaudara, bukan Koes Plus, dibawa masuk penjara oleh Bung Karno setelah sebelumnya nama mereka disebut-sebut dalam pidatonya. Satu kisah menarik dari peristiwa ini merupakan buah cerdiknya pemikiran Bung Karno. Melalui pengakuan Yok Koeswoyo pemenjaraan mereka tidak sekedar anti-kapitalisme Bung Karno, tapi merupakan alih-alih melakukan strategi untuk mengganyang Malaysia. Gembar-gembor ini agar mereka dapat masuk ke dalam pasar Malaysia dan mengobrak-abrik budaya Malaysia. Dapat dikatakan bahwa Bung Karno memberi misi kenegaraan kepada Koes Bersaudara. Inilah akar dari apa yang menjadi sebuah legenda. Pengalaman mereka di dalam kamar 15 Penjara Glodok. 

2 Album yang rilis di tahun 1967 ini tidak seperti album dan single sebelumnya yang direkam di Irama Records, melainkan di Mesra Records milik mantan perwira AURI bernama Dick Tamimi dengan alat-alat terbaru pada masanya. Jika di zaman sekarang orang banyak menyebut bahwa Koes Bersaudara atau Koes Plus adalah Fab Four-nya Indonesia, di saat inilah mereka benar-benar membawa spirit The Beatles kepada karya musiknya, walaupun pada saat itu The Beatles yang asli sudah berjalan jauh meninggalkan musik lamanya. Dimaklumi pada era itu waktu belum termampatkan sehingga informasi tidak diterima secepat sekarang.The Beatles yang Koes Plus kenal saat itu adalah pemuda Liverpool berponi rata sedikit di atas alis dengan menggunakan jas yang seragam. 

Gertakan simbal crash di awal album "To The So Called The Guilties" yang berlanjut dengan nada-nada rock n' roll mengingatkan pada The Beatles era moptop. Lagu-lagu seperti ini menjadi simbol rebel anak muda saat itu melawan masa Orde Lama yang telah banyak mengekang gaya hidup mereka. Kemudian hantaman vokal Yon Koeswoyo pada lagu "To The So Called The Guilties" dengan vokal latar menembangkan judul lagu memaksa Nomo Koeswoyo untuk unjuk gigi dengan variasi beat snare drum yang ganjil nan jahil. Ini merupakan buah dari perenungan mereka di dalam penjara yang disajikan di album ini bersama dengan lagu "Di Dalam Bui". Balada ini menggabungkan harmonisasi vokal jenis "Everly Brothers" serta "Simon & Garfunkel" versi Melayu. Sedikit lead Tonny Koeswoyo yang mudah diingat mengisi pula di tengah lagu.

Ada pula nada-nada romansa yang ditawarkan gamblang dengan lirik "I love you" yang diulang pada "Three Little Words". Lirik-lirik seperti ini memang masih menjadi andalan musisi Indonesia era itu, namun cukup mengejutkan ketika tema fiksi ilmiah dipilih mereka untuk ditampilkan pada nomor "Bintang Mars" yang berisikan keoptimisan mereka akan eksistensi makhluk hidup di planet lain. Absurditas lirik "Apa Sadja" pun menjadi inovasi lirik tematik dari Koes Bersaudara. Satu catatan penting pada track "Apa Sadja", praktek backing vokal falseto The Fab Four sangat berhasil setidaknya melabeli diri mereka sebagai The Beatles-nya Indonesia. 

Tonny Koeswoyo sangat berperan dengan menghasilkan berbagai rock n' roll riff yang easy listening didukung pula dengan dentuman bass Yok Koeswoyo yang begitu terasa di nomor "Poor Clown". Karakter Yon yang enerjik menampilkan vokal yang meledak-ledak pada lagu ini serta beberapa lagu lainnya seperti "Untukmu", "Bintang Mars", "Apa Sadja" serta "Voorman". 

Lain album lain cerita pula. Berbeda dengan album "To The So Called The Guilties", album EP "Djadikan Aku DombaMu" memberikan sisi kalem Koes Bersaudara dengan kemasan 8 buah track balada secara intens. Kekonstanan mereka menyajikan balada-balada tidaklah membuat bosan kuping para pendengar. Di album ini saya merasakan masuknya musik-musik jenis gerejawi yang tak ketinggalan efek gaung pun begitu terdengar di EP ini. Entah datang dari mana influens musik seperti ini sehingga balada-balada ini terasa megah tanpa perlu tambahan-tambahan alat orkestra. 

Jagoan saya pada album ini ada pada 3 track berurutan "Rasa Hatiku", "Djadikan Aku Dombamu", serta "Aku Berdjandji". "Rasa Hatiku" memang hanyalah standar musik pop cengeng biasa tapi jika diperhatikan ada satu elemen komposisi lagu yang ingin sekali dibincangkan dan dipertanyakan. Vokal latar yang kadang lebih menyerupai suara dengungan nyamuk. Apa maksud dari penambahan vokal ini? Saya rasa fantasi psikedelia belum saatnya ada di Indonesia pada saat itu karena The Beatles dengan "Sgt. Peppers" nya pun baru rilis di tahun yang sama. Apakah mereka merupakan "beatnik" yang telah meramalkan akan adanya tren baru di penghujung dekade 60-an. Segala pertanyaan ini perlulah disimpan baik-baik dan perlu ditanyakan apa yang menjadi ide penambahan segmen tersebut kepada para jenderal musik pop Indonesia ini. Kali ini cukup nikmati saja dengungan nyamuk itu yang hanya ada pada lagu ini dan sedikit pada track akhir "Bilakan Kamu Tetap Disini".

Teknik dekresendo dan kresendo yang berujung pada nada-nada gitar yang minor menjadi andalan pada tembang "Djadikanlah Aku Dombamu". Track ini cukup suram untuk lahir di era itu. Satu buah fakta menarik pada album ini tidak ada kesesuaian teks judul antara yang tertulis pada sleeve, piringan hitam, serta judul album. Pada sleeve tertulis "Djadikan Aku Dombamu", pada piringan hitam tertulis "Djadikanlah Aku Dombamu". Ini juga mengulang kesalahan penulisan pada track "Untuk Ajah Dan Ibu" yang tertulis "Untuk Ajah Serta Ibu" pada sleeve.

Sedangkan pada "Aku Berdjandji", kunci intro ini begitu familiar bagi masyarakat Indonesia era 2000an karena begitu mirip dengan kunci yang dibawakan Naif pada single album kompilasi "The Best of Naif" yang rilis tahun 2005, "Air dan Api". Tidak pernah ada klarifikasi antara kesamaan kunci pada kedua lagu ini, yang jelas Keluarga Koes + Murry memang menjadi influens mereka dalam bermusik. Dengarkan pula fase bridge "Bila cinta padamu abadi", "Bila slalu untukku hatimu" atau "Bila slalu untukku hidupmu". Melodi gitarnya begitu menarik bukan? Jika ya, tak dapat diragukan lagi kemampuan Tonny Koeswoyo sehingga mendapat julukan Bapak Musik Pop Indonesia. 

Jika pendengar tidak terbiasa mendengarkan lagu memble dan agak bosan dengan rentetan lagu balada-balada ini, pendengar akan cukup dimeriahkan oleh lagu "Bilakan Kamu Tetap Disini" yang merupakan balada yang dinyanyikan cukup semangat oleh Yon. Lagu ini membuat komplet album EP ini di penghujung album. 

Inovasi-inovasi menjadi buah dari misi Bung Karno kepada mereka. Segala isu yang menyerang mereka tidak membuat mereka salah jalan malahan menginspirasi mereka dalam berkarya sehingga menjadi tameng dari serangan-serangan media pada mas itu. Dengan adanya album ini jati diri Koes Bersaudara (yang walaupun tetap dikatakan mengikuti The Beatles). Inilah cetak biru dari permainan musik mereka selanjutnya.

Kedua album ini menjadi album rilisan 1967 yang mendapat label "wajib hukumnya" untuk didengar. Jika "Sgt. Peppers Lonely Hearts Club Band" dan "Magical Mistery Tour" menjadi album  yang mengubah corak musik pop dunia, kedua album ini saya katakan pula album yang demikian namun untuk industri musik pop Indonesia. Jika mengaku orang Indonesia jangan pernah melewatkan album yang satu ini dan jangan pula ketinggalan menikmati animo konser reuni mereka.