Wednesday 21 August 2013

We Are The 21st Ambassadors of Peace & Magic (2013) : Memori Dalam Balutan yang Trendi



Selera musik saya ini bermula dari tumpukan kaset milik ayah di gudang rumah saya. Dan layaknya pemuda Indonesia yang mengalami masa mudanya berada di era 70-an, The Beatles dan Deep Purple menjadi idolanya. Nama merekalah yang terpampang di beberapa kaset lusuh yang membuat saya tertarik untuk mendengarkannya. Virus-virus audio ini mengancam saya, dan kalau meminjam kata-kata teman saya antibodi dalam tubuh saya tak sanggup untuk menahannya. Bertahun-tahun setelah berlabuh pada daratan audio ini dan berbagai ekspedisi telah banyak dilakukan, selera saya pun berkutub pada dunia masa lalu terutama dekade 60 dan 70. Sehingga tak banyak musik masa kini yang saya kenal.


Berbeda ceritanya dengan band yang satu ini, peribahasa "cinta pada pandangan pertama" mungkin saya plesetkan menjadi "cinta pada pendengaran pertama". Irama catchy disertai kedinamisan tempo hits "Shuggie", mengganggu dan memaksa saya bertanya pada teman saya lagu milik siapa yang diputarnya. Arah navigasi ekspedisi terbaru ditetapkan.

Album ini menambah beberapa band masa kini di music library saya. Duo Sam France dan Jonathan Rado ini memang tak jauh-jauh kutub permusikannya dengan selera musik saya. Dua bocah nakal melakukan eksperimentasi warna suara psikedelia di dalam kemasan yang trendi atau mungkin singkat kata saya selalu ingin menyebut genre mereka sebagai "Neo psych nan jahil".

Pencarian identitas bermusik mereka telah dilakukan sejak awal masa pubernya dengan menghasilkan 36 track yang memamerkan keliaran akan penggunaan alat musik ibarat balita bertemu dengan mainan-mainan barunya. Penggunaan secara etis maupun tidak, beragam alat musik asing yang konon mereka beli dengan bantuan kecanggihan koneksi jejaring jual beli ini, menjadikan arus kuat untuk membawa pendengar terhisap lebih dalam pada lubang hitam yang telah mereka gali. Atau bisa pula seperti saya yang tak mengikuti arus sequence-nya tergoda untuk mengenal mereka lebih dalam melalui album ketiganya yang sudah matang lalu melakukan napak tilas ke titik awal duo indie ini. 

Tidak jauh berbeda dengan album debut, penggunaannya kini disajikan lebih efisien dengan menempatkan unsur lain selain alat-alat musik melainkan paduan suara anak pada "On Blue Mountain", atau dialog sahut-sahutan antara vokal dan vokal latar pada single "San Fransisco", sedangkan synthesizer dan efek vokal sebagai jawaban dari efisiensi alat musik yang digunakan. Namun jika masih ingin mendengar beberapa asupan audio dari permainan mereka pada alat musik asing, mereka tetap menawarkan satu track instrumental "Bowling Trophies" dibungkus dalam sound reverb yang tebal dan "In The Darkness" yang agak mengingatkan saya pada lagu pembuka album nomor 1 versi Rolling Stones, "Sgt. Peppers Lonely Hearts Club Band". Tak terlalu mengejutkan bila kunci-kunci blues hampir tersemat di setiap lagu untuk membantu membentuk suasana retro. Tapi pergantian tempo yang tiba-tiba seperti pada "On Blue Mountain", "Shuggie", "We Are The 21st Century Ambassadors of Peace & Magic" , praktis membuat saya terkejut tak yakin pembawaan musik progresif terbawa pada bocah 22 tahun yang kekininan. Momen ini mengulang "TV Pro" milik "The Vines" yang berhasil merebut perhatian saya. 

Di satu sisi vokal Sam France tidak memiliki nilai yang menarik namun pembawaaanya yang tak berselera menyajikan memori akan Lou Reed dan balada-balada awal Rolling Stone (Rasa seperti ini sudah pernah terjadi sebelumnya di Indonesia ketika Deddy Stanzah menyanyikan "It's All RIght" untuk album duetnya bersama Gito Rollies) yang kental terasa di "No Destruction" dan versi lebih genitnya pada "San Fransisco". Terkadang rasa Serge Gainsbourg dan "French pop" nya pun membahana pada cara bernyanyi Sam yang seperti bertutur kata.

Beberapa unsur di atas ini dapat tersusun dengan baik tanpa membentuk fraksi, melainkan menghasilkan sebuah keseimbangan antara suasana tempo dulu dengan balutan sound zaman sekarang, bahkan bisa dibilang masa depan. Namun tanpa ofensif, secara lirikal album ini sama halnya dengan rata-rata band yang lahir di era millennium, nonsens dan deskriptif. 

Kekayaan eksplorasi yang duo ini tunjukkan mampu mengatasi segala kekurangannya dan menjadikan kejutan dan memori di setiap nomornya sebelum mencapai titik klimaks psikedelia trendi pada "We Are The 21st Century Ambassadors of Peace & Magic". Virus dyslexia dan rhythm repetitif Mothers of Invention pada "Help I'm a Rock" menjadi buku panduan permainan mereka sebelum beralih pada tempo yang lebih lambat untuk segera melesat kembali. Dua kali gangguan digital audio sesaat sebelum fase interlude yang dimeriahkan oleh tepukan tangan berlanjut pada outronya yang lemas  mengantarkan pada tembang galau "Oh No 2" yang membawa perjalanan "spiritual" kepada sebuah solusi di penghujung album.


"If you believe in love 
Everything you see is love 
So try to be what God wants you to be 
And say that I love you again"


Sangat frontal memang memasang embel-embel atau menjuluki diri pada sebuah judul album. Walaupun saya tidak menyetujuinya 100%, namun bolehlah sebuah jabatan "duta abad 21" bagi "peace & magic" -yang identik akan era hippie- tersemat pada kedua bocah berandalan ini. Namun saya akan tunggu bagaimana hasil periode menjabat mereka selanjutnya. Jangan kecewakan!






Sunday 18 August 2013

The Soft Parade (1969) : Menilai Positif Sebuah Kontradiksi


Sebuah review di sputnikmusic.com berkesimpulan "The Doors' fourth album is not the first you'll want to pick up". Tapi itu tidak berlaku pada saya. 

Tidak ingat sejak kapan suara Mr. Morrison menemani di music library saya tapi "The Soft Parade" mempunyai daya tarik tersendiri bagi saya. Entah sadar atau tidak album ini merupakan album The Doors yang saya miliki pertama kali secara fisik. 

Banyak orang mungkin bersebrangan paham dengan saya dan bergabung dengan teori spunikmusic.com. Bagaimana fenomenalnya album debut mereka disusul dengan "Strange Days" sembilan bulan kemudian - dengan artwork cover yang menurut saya one of the best artwork have ever seen - sangat sulit untuk dikalahkan album - album berikutnya. 

"The Soft Parade" dirilis di tahun 1969 di mana nama The Doors sudah digilai jutaan fansnya dan tentunya menjadi hal yang lazim bagi seorang idola di masa puncak karirnya, hidup berantakan ala rock n' roll. Tak perlu diceritakan kembali dua buah konser kontroversial mengawali perjalanan menuju album ini. Gonta-ganti wanita dan bermacam substans mewarnai hidup sang vokalis. Alhasil, proses rekaman untuk album ini menghabiskan waktu 11 bulan.

Sebelas bulan kemudian sembilan buah lagu dijagokan Paul Rothchild untuk menembus pasar dunia.  Sungguh ironi apa yang mereka alami dengan karya yang mereka hasilkan membuat saya gatal untuk berpikir "Apa yang ada di otak mereka, terutama Jim, untuk memasukkan unsur orkestra yang cukup mendominasi?". Orkestra yang begitu identik akan keteraturan di tengah kehidupan yang sudah seperti kapal pecah. Saya tak dapat berhipotesa dan hanya bisa terkesima menikmati hasil karya mereka satu per satu.


"Tell All The People" dibawakan begitu berwibawa dan megah membuat lupa akan sosok arogan Jim Morrison yang dibangun melalui liriknya. Disusul hit single "Touch Me" begitu klimaks dengan outro tiba-tiba "Stronger than dirt". Terasanya dominasi Ray Manzarek yang berkurang digantikan oleh kekuatan magis string Robby Krieger juga merupakan salah satu hal menarik pada album ini. Begitu menanjak sesuai urutan; dari petikan apik nan seksi Krieger pada "Easy Ride", riff "Wild Child" yang membuat Manzarek tunduk, dan "Runnin Blue" yang menampilkan potongan bluegrass memaksa bantuan permainan mandolin oleh Jesse McReynolds di tengah lagu begitu padu dengan orkestra yang indah. "Wishful Sinful" dengan bentangan vokal bariton Jim Morrison mengalun membantu menenangkan pendengar sebelum diserang oleh karya penutup.

Tembang epik berdurasi delapan menit dimulai dengan monolog liar dan isi lirik sureal yang entah apa maksudnya perlu ditanyakan langsung pada mendiang Jim Morrison. Namun bagaimana bagian demi bagian terbangun begitu indah dengan transisi yang menawan membuat saya setuju akan ucapan terbata-bata Jim di tengah lagu "This is the best part of the trip, this is the trip, the, best part, I really like". Sebuah seksi beridiom floral merayap masuk mengakhiri seksi akustik sebelum berjanjut ke vokal rangkap Jim Morrison yang membuat ia layaknya benar-benar sedang memimpin sebuah parade. Kembali mengingatkan akan lirik penegasan track pertama album ini "Follow me down". 

Sebuah album yang tidak seburuk apa kata orang. Banyak fans yang merasa kehilangan identitas The Doors di album ini dan menganggap mereka bukan The Doors. Namun coba sadari inilah mereka dan saya tegaskan inilah sisi lain kreativitas The Doors!

Friday 16 August 2013

(1 + 5) Album Dirgahayu Republik Indonesia ke-68 : Album Sang Presiden


Saat gonjang ganjing masa kepresiden SBY di tahun 2007, beliau tiba-tiba melakukan sebuah spekulasi yang membuat kebanyakan masyarakat geram. Rilislah sebuah album musik pop berjudul "Rinduku Padamu" yang berisikan 9 buah karya dari tangan sang presiden Republik Indonesia tercinta ini.  "Kondisi negara sedang berantakan kok malah buat album?" , begitu mungkin kebanyakan masyarakat Indonesia berkomentar. Tak sedikit pula yang mendukung kesenangan Sang Presiden dalam berkesenian terutama seni musik (Konon beliau mempunyai grup band saat di Pacitan tahun 1960-an, penasaran?). Didukung oleh orang-orang yang besar di industri musik Indonesia seperti Darma Oratmangun, Jimmy Manopo, serta Purwacaraka mengundang banyak pro kontra.
Tapi jangan salah ini bukan yang pertama terjadi di republik ini. Untuk mengenang dirgahayu Republik Indonesia yang ke-68, berikut 5 album tambahan yang berhubungan dengan orang nomor wahid di negeri ini.

1. Various Artists - Mari Bersuka Ria dengan Irama Lenso. (1965)
Sang Proklamator lah yang pertama membuat album musik populer. Memang hanya satu lagu saja ia berperan langsung dalam tembang "Bersukaria" sebagai songwriter. Namun ide dibalik paketan musik ini jelas - jelas dari beliau. Mengingat tak sukanya Bung Karno akan paham imperialisme dan kapitalisme, Beliau mengajak rakyat Indonesia meninggalkan musik "ngak-ngik-ngok" dengan membuat langgam musik baru yaitu lenso. Tak ketinggalan lagu kontroversial paham komunis dimasukkan ke album ini. "Gendjer-Gendjer" versi Bing Slamet membahana di awal sisi kedua piringan hitam 10 inci ini. Sisanya diisi dengan lagu daerah seperti "Soleram", "Euis", masterpiece keroncong ciptaan maestro Gesang, "Bengawan Sala", serta lagu anak "Burung Kakatua". Dan menariknya lagi semuanya itu dibawakan dalam irama lenso di bawah pimpinan orkes Jack Lemmers.

2. Lilis Suryani -  … Ia Tetap di Atas!! (1965)
Legenda penyanyi wanita Indonesia Lilis Suryani diundang oleh Bung Karno untuk menyanyi di Istana Negara karena munculnya "Untuk PJM Presiden Sukarno" sebagai lagu pembuka pada album ini. PJM sendiri merupakan singkatan dari Paduka Jang Mulia. Ini masih tidak berlebihan jika mendengar lebih cermat isi lagunya yang lebay yaitu mengagung-agungkan Bung Karno. "Kan ku doakan ke hadirat Ilahi smoga paduka tetap sejahtera selalu, betapa bahagia rakyat Indonesia dalam bimbingan yang mulia" Jika melihat dari sudut pandang 48 tahun kemudian Sutedjo, sang pengarang, memilih kata-kata yang tepat namun sungguh ironi dengan kondisi negara saat itu yang sedang panas-panasnya. Lagu ini saya kira alih-alih doktrinasi secara paksa dari Bung Karno. Dilengkapi dengan "Gendjer-Gendjer" yang nantinya dikaitkan dengan PKI, album ini menjadi album fenomenal milik Lilis Suryani.

3.Onny Surjono - Siapa? (1965)
Produk latah dari Onny Suryono dikemas di album rilisan Remaco ini. Lagu berjudul "Bung Karno Djaja" yang menutup album ini sepertinya memang karya tandingan dari "Untuk PJM Presiden Soekarno". Saya melihat "Bung Karno Djaja" hanya menjadi strategi komersil mencoba mengulang sukses Lilis Suryani. Lainnya merupakan lagu pop tanpa berbau politik atau berkenaan dengan Sang Presiden.

4. Various Artists - Souvenir Pemilu 1971 (1971)
Kini giliran Pak Harto yang mencoba mencari perhatian masyarakat lewat jalur industri musik. Tampilan cover yang sangat Golkar - pohon beringin dengan latar warna kuning - dibintangi oleh Bing Slamet (Sebelumnya mengambil hati Bung Karno di album "Mari Bersuka Ria dengan Irama Lenso", kini pada Pak Harto), Vivi Sumanti, Ellya Khadam, serta Tanty Josepha. Lagu "Pohon Beringin" karya Suwandi yang menjadi andalan dari album ini dinyanyikan oleh Bing Slamet. Untuk melengkapi album propaganda ini disisipkan kembali lagu- lagu daerah yang tak sekadar lagu daerah biasa. Memang dari awal membuat album untuk tujuan propaganda maka tak heran jika kalimat "Politik? No! Pembangunan? Yes!" terucap di awal lagu "Tandjung Ou Ulate". Ada pula pengambilan lirik dari lagu "Bersukaria" ciptaan Bung Karno bertajuk sinisme. "Siapa bilang Bapak dari Blitar, Bapak kita dari Tanjung Enen. Siapa bilang sayang Golkar, jangan lupa cium beringin."  Selebihnya tak jauh-jauh dari cuplikan di atas.
5. Kelompok Kampungan - Mencari Tuhan (1980)
Tidak pernah saya dengar komplit album ini  tapi terselip satu buah lagu dengan judul "Bung Karno"  dengan pidato Bung Karno yang membuat saya merinding di awal tembang. Coba tengok beberapa ulasan mengenai album ini dan saya sisipkan satu ulasan favorit saya oleh Taufiq Rahman. Kabar baiknya, album ini telah direissue oleh Strawberry Rain Music di pertengahan tahun ini.







Di penghujung mungkin enaknya saya mengucapkan Dirgahayu Republik Indonesia!





Tuesday 13 August 2013

Jangan Terlalu Naif (2000) : Fenomena Awal Generasi yang Fenomenal




Suasana glamor. Tengah malam. Lelaki berdandan. Selendang berbulu warna ungu.

Ragam visual ini menghiasi layar kaca saban harinya mengganggu tangkapan visual saya yang masih duduk di bangku SD. Terasa menyebalkan tapi apa mau dikata sambil menunggu acara kartun pukul 3 sore, lirik video klip itu dinyanyikan pula. Ternyata bukan hanya saya yang terganggu secara audio maupun visual buktinya teman-teman serta kakak saya sering pula mendendangkan syair "Mengapa aku begini?" ini versi original atau plesetannya. Anda juga kan?

Bisa dibilang munculnya video klip "Posesif" ini merupakan salah satu peristiwa penting sepanjang dekade 2000-an. Selain berhasil mempopulerkan lagunya, video klip kontroversial ini mengorbitkan modelnya yaitu Alm. Avi ke dunia hiburan nusantara. Namun stop dengan prestasi dari single yang satu ini, karena isi album yang mengemasnya pun sungguh menggemaskan untuk dibahas.

Dimulai dari bagaimana seorang Pepeng tertarik untuk melanjutkan cerita dari lagu Piknik '72 single dari album debutnya. Kemasan video klipnya walau tak semeledak "Posesif" namun terbilang menarik. Identitas musiknya yang sangat bermain akan waktu mereka tuangkan pula pada nomor "Si Mesin Waktu". Liriknya terpilih begitu menarik, terasa bagaimana noraknya imajinasi manusia-manusia retro mengenai masa depan. Kenorakan masa-masa lalu pun kembali diberikan Naif melalui "Towal-Towel" dengan aksen dangdut pada album pop ini.

Ada satu nomor yang menurut saya menarik sekali untuk dibahas yaitu "Hai Monas". Selidik punya selidik lagu ini tidak seindah lirik yang dinyanyikan David kala masih tambun. Ya, lagu ini merupakan metafora punggawa-punggawa Naif ini untuk ereksi. Jika dimaknai lebih lagi kata "olah raga" adalah kemasan dari masturbasi. Layaknya lirik musik blues zaman dahulu yang dekat dengan kevulgaran dibelokkan dengan kata-kata indah. Di Indonesia sendiri ada beberapa yang menggunakan metode ini tersebutlah Alm. Harry Roesli dengan "Opera Rock Ken Arok" nya, Iwan Fals dengan "Bento"nya, serta Slank dengan "Poppies Lane Memory"nya. 

Agak berbeda dengan pendahulunya yang menutupi hasrat rebelnya terhadap pemerintah, "Hai Monas" begitu sarat akan humor. Saya melihat di sini terjadi sebuah fenomena yaitu kejenuhan sebuah generasi akan sosok pemerintah. Naif yang personelnya merupakan mahasiswa saat puncak kehancuran Orde Baru, tidak mau membawa carut-marut suasana negara akhir 90-an. Dari lirik mereka mengangkat kenorakan romantisme dan kevulgaran. Dari irama dan penampilan mereka membawa jauh ke tahun 60an dan 70an mengingatkan kembali akan generasi bunga. Dengan mengawali dekade baru, milenium baru, serta pemerintahan yang baru, mereka lebih memikirkan harapan - harapannya ke depan dengan kegembiraan dan rasa humor dan melupakan coreng hitam pada masa mudanya. Tengok pula di sekitarnya mulai bermuculan band serupa seperti P-Project dan Project Pop, Harapan Jaya serta The Panasdalam. (Wah udah kejauhan nih… Untuk fenomena ini akan dibahas lebih lanjut di tulisan-tulisan saya berikutnya)

Mari kembali lagi topik utama, "Jangan Terlalu Naif". Kekuatan Naif di album debut seperti harmonisasi vokal dan backing vokal masih dipertahankan (terasa sangat nikmat di "Selalu") dan akan menjadi kekuatan utama hingga album - album berikutnya. Eksplorasi akan waktu pun terus digarap untuk mencari kebaruan audiovisual karena sudah pada dasarnya mereka masing-masing memiliki skill yang mumpuni yang begitu terasa di nomor instrumental penutup "Naif". Tembang ini sangat enak dinikmati sambil menikmati kolase dari Tonny Tandun & The Satelite Of Love yang menjadi artwork album di awal generasi baru ini.


Djakarta Artmosphere 2012: Wajah Lama Warna Baru

Sekitar 1 minggu sebelum acara berlangsung publik dikagetkan dengan kondisi legenda hidup Indonesia Benny Soebardja yang harus masuk rumah sakit lantaran terkena serangan jantung. Namun 1 minggu berselang spirit manggung beliau begitu hebat untuk mengalahkan penyakit yang dialaminya. Djakarta Artmosphere 2012 yang merupakan perhelatan keempatnya, tetap memasang nama Benny Soebardja dalam rundown acara berkolaborasi dengan The S.I.G.I.T, selain itu adapula nama Ermy Kulit dan Zeke Khaseli, Andy Ayunir dan The Upstairs, serta Bob Tutupoly dan Shaggy Dog.
Dari pukul 5 sore sudah terlihat anak – anak muda duduk nongkrong di depan Balai Sarbini tidak sabar menanti penampilan kolaborasi lintas generasi tersebut. Namun ketika acara dimulai sekitar pukul 8 malam, penonton yang mengisi venue tidak seantusias anak – anak muda tersebut, ini menyebabkan acara tersebut menjadi terasa seperti private concert.
Celotehan Sarah Sechan dan Soleh Solihun membuka acara dengan mengundang gelak tawa dari para penonton mencoba membuat suasana acara menjadi hangat hingga akhirnya para personel The S.I.G.I.T yang digawangi Rekti, Farri, Adit, serta Acil sudah bersiap-siap di atas panggung. The S.I.G.I.T mencoba menggebrak dengan hitsnya “Clove Doper”. Namun sayang, penampilan mereka terganggu oleh masalah teknis. Terlihat di sini persiapan yang dilakukan panitia masih kurang. Untungnya penonton terhibur dengan melihat Benny Soebardja naik ke atas panggung. Benny Soebardja dan The S.I.G.I.T langsung membawakan tembang favorit dari album satu – satunya Shark Move Ghede Chokra’s, “My Life”. Vokal Benny Soebardja masih membahana ketika melantunkan bagian ballad dari lagu tersebut namun ketika tempo lagu naik, suara  melengking Rekti mengingatkan vokal Benny Soebardja saat muda.
Pada lagu “18 Years Old”, kembali ketidaksiapan panitia ketika permainan flute Rekti terlihat sia – sia karena sound yang kurang mumpuni. Dilanjutkan dengan single dari Shark Move yang masuk ke dalam album kompilasi Those Shocking Shaking Days bertajuk “Evil War”. Penampilan mereka ditutup dengan lagu kojo The S.I.G.I.T yaitu “Black Amplifier”. Pada ending lagu, Acil mengimprovisasi menambahkan durasi lagu memberi kesempatan Farri, Rekti juga Benny Soebardja unjuk gigi. Di sini Benny Soebardja seperti tidak mau kalah dengan sound gitar yang dimiliki Farri, sehingga tercipta komposisi sound gitar yang menarik menutup sesi pertama Djakarta Artmosphere 2012.
Pada sesi ke-2 Zeke Khaseli seperti biasa tidak hanya memberi suguhan audio namun juga visual yang menarik. Memadukan sound effect dengan teatrikal, Zeke Khaseli membuka dengan nomor “Boylien 9 No 1”, “11:01” dan “Rolling Like a Stupid Stone”. Tidak lama berselang, Ermy Kulit yang masuk ke panggung dengan menggunakan kaftan putih langsung menembangkan lagu “Kasih” dan berhasil membawa penonton untuk bernyanyi bersama. Dilanjutkan dengan “Don’t Worry Darling”, Zeke mencoba masuk dengan warna absurditasnya ke dalam lagu populer dari Ermy Kulit. Selanjutnya Ermy Kulit terlihat dipermainkan oleh Zeke Khaseli dalam lagu – lagu miliknya.
Suasana 80an kini menaungi panggung Jimmy Multazam dan kawan – kawan The Upstairs ketika membuka penampilannya dengan medley “Hanya Aku”, “Musik”, “Lantai Dansa” serta “Anarki”. Di sinilah sound system baru terasa sempurna dengan dentuman drum elektrik dari Benny serta alunan bass dan synth dari Pandu dan Krisna sedangkan Kubil Idris di gitar tetap tampak kalem. Lampu dipadamkan dan personel The Upstairs terlihat meninggalkan panggung lalu terlihat sosok yang dikenal sebagai Andy Ayunir terasa datang dari masa depan menggunakan kostum jumpsuit silver. Andy Ayunir langsung mengendalikan gear nya dan membuat tercengang penonton dengan kemampuannya. Lampu sorot pun membantu penampilan Andy semakin kosmik.  The Upstairs lalu kembali masuk ke panggung dan berkolaborasi dengan Andy membawakan single – single yang sangat catchy. Kejutan kembali diberikan Djakarta Artmosphere 2012 dengan masuknya jagoan 80-an Ikang Fawzi membawakan soundtrack dari film 80-an “Catatan Si Boy”. Penampilan sesi 3 ini ditutup oleh lagu anthem milik The Upstairs Gadis Gangster. Di sini terjadi battle keytar antara Krisna The Upstairs dan seniornya Andy Ayunir.
Memang cocok pasangan Shaggy Dog dan Bob Tutupoly diberikan tempat terakhir sebagai puncak acara. Shaggy Dog membawakan tembang “Kembali Berdansa”, “Hey Cantik”, dan “From The Doc To The Dog” dengan apik memperlihatkan kejeniusan masing – masing personelnya dalam bermusik. Bob Tutupoly melengkapi kejeniusan Shaggy Dog dalam naungan Shaggy Bob. Tembang populer milik beliau “Di Mana” dibalut menarik oleh Shaggy Dog membuat penonton bergoyang sambil ikut menyanyikan lagu tersebut. Giliran suara Bob yang mengindahkan “Lagu Rindu” milik Shaggy Dog. Memang begitu terasa vokal Heru sang vokalis begitu sewarna dengan seniornya tersebut. Bob Tutupoly dalam selang antar lagu begitu komunikatif menceritakan pengalamannya dalam bermusik sehingga terdengar keberanian seorang penonton berteriak “Widuri!” tanda request lagu tersebut dibawakan. Langsung Bob Tutupoly bersemangat mengganti pakaiannya di atas panggung dari jas merahnya menjadi jas kuning lengkap dengan topinya. “Widuri” pun begitu meriah dibawakan oleh Shaggy Bob. Terakhir judul lagu yang diambil dari kampung halaman Shaggy Dog, “Sayidan” menutup Djakarta Artmosphere 2012. Penonton sempat meminta encore namun sayangnya panitia tidak mengizinkannya karena memang waktu tidak terasa telah melewati tengah malam.
11 November 2012