Sunday 6 October 2013

Kompilasi Edisi Selamat Tinggal Anjing Kampus!


Hari ini saya mendengar kabar yang cukup mengenaskan. Mungkin maaf tulisan ini sangat lokal. Seekor anjing hitam kampung betina yang sangat dekat dengan lingkungan saya di salah satu kampus terbaik bangsa harus diusir secara mengenaskan. Roti namanya. Tak ada hubungannya sama sekali dengan tulisan-tulisan saya seputar audio. Tapi kehadirannya di dalam masa pendewasaan saya banyak memberikan kesan.
Sekadar menghargai kepergiannya, saya hadirkan sebuah kompilasi audio persembahan khusus buat "Si Roti" (juga teman-temannya yang sayang sekali belum sempat lebih kenal). Silahkan menikmati!

Led Zeppelin
Black Dog - Led Zeppelin IV (1971)
Riff yang menggelora dari Jimmy Page diikuti pukulan snare drum John Bonham secara ritmik melanjutkan vokal melengking dari Robert Plant. Murah meriah. Pola dasar "vocal-stop-start" menjadikan lagu nomor satu di album Led Zeppelin IV ini sebagai basic track bagi genre musik ini. Secara deskriptif menggambarkan apa yang telah saya sebut di atas mengenai "Roti si Black Dog".

The Gang of Harry Roesli
Peacock Dog - Philosophy Gang (1973)
Selain secara musikalitas yang tinggi liriknya begitu aduhai. Penuh pemberontakan mengkritik dengan bertanya-tanya "Peacock dog where are you?". Secara kebetulan di sini, sebuah eksistensi sedang dipertanyakan. Baik eksistensi secara nyata maupun tidak. Antara di mana "Si Roti" dan di mana sosok merak di negara ini (khususnya bagi campus yang sang at merepresentasikan bangs ini). Di sini saya tidak akan secara sok-sokan memberontak namun terdengar ironis saga lagu ini begitu sesuai dengan kondisi seat ini. Satu hal yang bisa saya petik dari penggalan lain lirik lagu ini "Look those leaves are falling from that yellow trees/ But the peacock dog will make it clean, could it?". Menaruh sebuah keoptimisan namun tak hanya menaruhnya begitu saja kita tetap perlu mempertanyakannya kembali. Saya pun berharap semoga mereka yang telah mengeksekusi dapat tersadarkan walaupun saya akan tetap mempertanyakannya lagi. 

Pink Floyd
Seamus - Meddle (1971)
Ada satu trek berjudul gambiang "Dogs" pada album "Animals" jika memang memilih dari kugiran progresif ini. Namun ketika saya hampir menyertakannya pada kompilasi ini saya merasa "Seamus" lebih merepresentasikan "Si Roti" dengan dengkuran, gonggongan, atau apalah itu yang dimanfaatkan keempat personel sebagai unsur yang menarik dari lagu ini. Satu lagi alasan kenapa lebih memilih trek ini. Mengiringi lagu epik 24 menit "Echoes". Semoga gonggongan "Si Roti" selalu menggema di kehidupan epik selanjutnya.




Tuesday 10 September 2013

Hanja Ada Satu / Tahu Tempe (1958) : Menjaga Eksistensi Tahu Tempe


Obrolan makan siang saya tertuju pada sebuah topik yang sedang "in" di berbagai headline-headline berita baik itu media massa maupun media elektronik. Miris memang, tahu dan tempe yang merupakan makanan asli rakyat Indonesia telah diberhentikan produksinya dalam beberapa hari ini. Aksi mogok mengancam para produsen tahu tempe karena harga kacang kedelai impor sebagai bahan utama yang naik tajam ulah nilai kurs dolar yang sedang menguat. Mungkin tak perlu saya berkoar detail-detail, karena berita mengenainya sudah banyak tercetak di berbagai surat kabar.

Di tengah obrolan ini, saya teringat satu lirik pada tembang "Tahu Tempe" yang dinyanyikan biduan legendaris milik negeri ini, Oslan Husein. 

"Tahu tempe kacang kdele
itu makanan utame.
Dimasak pake minyak kelape
hidangan rakyat jelate."

Lirik-lirik ini terasa sangatlah ringan, deskriptif nan banal untuk dijadikan tema sebuah lagu. Terkadang teman saya membuat lirik-lirik milik Oslan Husein ini sebagai lelucon. Setelah menghadapi obrolan berisi di tengah hari ini, kabel-kabel memori amburadul pada otak saya tiba-tiba saja saling menyambung dan tersusun lebih rapi. 

Tahu tempe ini layak untuk dijadikan tema sebuah lagu. Lagu ini akan menjadi bukti nyata bahwa tahu tempe pernah menjadi makanan murah dan beredar luas di negeri ini. Dengan adanya peristiwa ini kekhawatiran eksistensi tahu dan tempe di masa yang akan datang patut dipertanyakan. Siapa tahu anak cucu kita tak akan pernah kenal rasanya. Tak perlulah saya membicarakan rasanya enak atau tidak karena itu sangat subyektif. Namun dengan lagu ini kita tahu bahwa tahu-tempe punya rasa yang cocok dengan lidah orang Indonesia. Simak pula penggalan celotehan Bang Oslan dan kawannya di tengah lagu:

"Tahu, tahu, tempe?/ Berapaan tuh bang?/ 5 perak./ Bungkus 3 deh bang!"

Dialog ini menegaskan bahwa merakyatnya makanan tahu dan tempe itu dahulu. Terbayang pula bahwa di era Bung Karno yang anti kapitalisme/imperialisme sudah jelas impor kacang kedelai tak pernah ada. Paham Marhaenisme milik beliau menginjeksi masyarakat untuk percaya dan bangga menggunakan produk lokal. Seiring berjalannya waktu paham ini bergeser hingga bukan hanya gaya hidup saja yang berkiblat dari barat, tapi tahu dan tempe pun kini gengsi ikut-ikutan tren barat.

Nah, untungnya di album yang memuat lagu "Tahu Tempe" ini, Bang Oslan sudah siap mengantisipasi datangnya rasa gengsi dari makanan-makanan khas jenis lain. Di nomor awal rasa segar "Es Mambo" sudah membuat ngiler para pendengar. "Singkong Rebus" yang empuk dengan kopi seteguk, serta "Nasi Djagung" jelas-jelas membuat perut kenyang di akhir album. Ada pula "Nasi putih sayur labu/ sambel tempe sama tahu" pada penggalan lirik "Sepiring Nasi" yang membuat kita harus kendalikan hawa nafsu. Kembali tahu dan tempe tersebut di nomor "Sandang Pangan"  semakin menegaskan begitu merakyat dan khasnya makanan jenis ini. 

Di samping itu berbagai budaya khas lain diangkat pula untuk dijadikan partner aransemen musik yang aduhai. Mulai dari nomor legendaris "Lebaran" dengan nuansa Timur Tengah, hingga kehirukpikukan suasana "Bis Kota" di ibukota Jakarta melengkapi album yang diiringi oleh orkes Widjaja Kusuma pimpinan M.Jusuf. Kesemuanya itu disajikan dalam musik yang menarik dengan denting glockenspiel, petikan gitar serta permainan apik piano sebagai instrumen utama. Berbagai celotehan di berbagai seksi lagu pun menghiasi beberapa lagunya. Berbagai ritme Latin seperti bossa atau cha-cha menjadi solusi alternatif irama rock n'roll yang dihindari untuk membungkus pola standar lagu nge-pop seperti pada nomor "Sorangan Wae" yang ironinya ditembangkan dengan bahasa Sunda. 

Pada musik Indonesia masa kini mungkin tak akan ditemukan lagi lirik-lirik semacam tahu dan tempe. Bahkan jika jenis makanan masa kini seperti fast food pun dijadikan tema sebuah lagu, saya agak risih membayangkannya. Apa yang ada di bayangan Bang Oslan ini sungguh berani karena hasil sajiannya bukan hanya menarik secara audio tapi tema ini dapat bertahan hingga kini.  Jadi kita patut berterima kasih kepada biduan kelahiran Padang yang mempopulerkan tembang "Andetja Andetji" ini karena dengan adanya album ini kita masih dapat menikmati tahu dan tempe dengan cara yang lain.

"Tahu tempe orang kate
Itu díe lah namanye.
Makanan kite yang istimewa
adanya di Indonesia"






Saturday 7 September 2013

Titik Api (1976) : Karya Tren Gaya Hidup 70-an



Menanggapi hari raya para kolektor musik rilisan kaset "Cassette Store Day" pada tanggal 7 September 2013 tak sanggup menahan diri untuk menceritakan sebuah album format kaset yang pernah ramai di ranah industri musik Indonesia. Sebuah kerja sama antara majalah populer terkemuka dengan musisi muda yang merupakan cucu dari pujangga kenamaan Indonesia, Marah Rusli. Djauhar Zaharsyah Fachrudin Roesli yang kita kenal dengan Harry Roesli, seorang budayawan yang dikenal brewokan dan baju serba hitam sebelum era mentalis Deddy Corbuzier. Karya-karyanya yang ceplas-ceplos memang sangat "Bandung pisan!" menjadi karakternya sedari muda. Ulahnya memang tak pernah ada matinya hingga julukan "Si Biang Bengal Bandung" atau "Si Budak Bangor" disematkan padanya.


Harry Roesli muda pun sama dengan pemuda pada zamannya yang gandrung ngeband bersama teman-teman satu gang-nya. Adalah The Gang of Harry Roesli dengan satu-satunya rilisan piringan hitamnya, "The Philosophy Gang", kini menjadi bongkahan emas para kolektor.
"Musik mikir" progresif yang kala itu sedang menjamur sangat menginfluens sehingga kata "putus sekolah" pun menjadi sebuah keputusan yang mengejutkan bagi seorang mahasiswa Teknik Mesin ITB ini. Akhirnya beliau melanjutkan sekolahnya di IKJ dan keahlian bermusik untuk menembus jajaran progresif pun dibayar dengan sekolah musik elektronik di Belanda.

Tak hanya pada diri Harry Roesli saja, budaya populer yang saat itu melanda Indonesia sangat banyak membentuk berbagai gaya hidup yang baru. Sebuah majalah populer dengan nama Aktuil merupakan salah satu imbas positifnya. Mulai beredar sejak tahun 1967 menghasilkan berbagai jurnalis musik hingga budayawan terkemuka yang kini menjadi panutan saya. Saya sendiri agak bingung dengan kondisi negara saat itu bila membaca majalah Aktuil tersebut. Di balik kisah utama yaitu dunia hiburan terselip kata-kata vulgar nan berani yang akan memicu sifat rebel anak muda saat itu bisa beredar bebas di pasaran Orde Baru yang terkenal sangat menutup mulut pers. Bisa dibilang inilah majalah populer terbaik yang pernah ada di negeri Ibu Pertiwi.

Sebuah lagi tren gaya hidup baru tahun 70-an. Media rekaman saat itu memang berpusat pada piringan hitam, namun datangnya format kaset musik tahun 1965 oleh Mercury Records menjadikan media audio alternatif di era tersebut. Indonesia yang sebagian merupakan negara berkembang dengan penduduknya yang berekonomi menengah memilih kaset sebagai format utama untuk mendengarkan rekaman musik. Hukum Indonesia yang lemah (dan memang hingga saat ini) menjebak kreativitas anak muda untuk membuat kaset bajakan hasil rekam sendiri. Perusahaan rekaman sistem ini merebak hingga muncullah nama-nama seperti Yess, Mona Lisa, serta Apple Records dan masih banyak lagi di kota-kota besar Indonesia. (Nama-nama besar ini mati setelah klaim Bob Geldof akan peristiwa dibajaknya konser donasi Live Aid).

Tren-tren ini akhirnya berujung pada sebuah mahakarya album "Titik Api". Kerja sama antara perusahaan majalah Aktuil dan Harry Roesli yang sama-sama berdomisili di Kota Bandung direkam di sebuah kaset stereo berdurasi 60 menit. Di album ini Harry Roesli mengikut sertakan teman-teman dari gangnya seperti Albert Warnerin, Hari Pochang, dan Indra Rivai, teman-teman "ngabaong" lainnya serta puluhan alat musik modern dan tradisional. Saya melihat pula nama Kania dari Kelompok Sinden Kharisma pada urutan nama paduan suara yang menciptakan praduga bahwa wanita ini merupakan istri Harry Roesli di kemudian hari. (Ada yang tahu kebenarannya?)

Konsep wayang menjadi konsep utama pada album ini. Artwork berupa gunungan, kata nayaga, sinden, sinden pengiring, serta wadytra tertera menjadi kata ganti jabatan susunan pemain, serta pembagian babak menjadi ide pembagian sisi pada kaset terlihat dengan adanya track "Prolog" dan "Epilog" di awal dan akhir sisi kaset. 

Penggunaan suara-suara absurd dari barang sehari-hari menjadi produk "baong" Harry Roesli di awal dan akhir album. Di awal "Sekar Jepun" terdengar suara deritan pintu berkali-kali, sedangkan pada akhir Epilog sisi kedua terdengar renyahnya bunyi kerupuk. Musiknya sangat jelas menjadi ajang unjuk gigi keahlian mereka serta akulturasi dengan musik etnik terutama Sunda. Berbagai lagu tradisional diangkat kembali dengan musik yang modern nan intens seperti nomor "Sekar Jepun", "Jangga Wareng", "Kebo Jiro" serta "Lembe-Lembe".

Adapula nomor "Merak" yang merupakan reissue dari "Peacock Dog" pada album "Philosophy Gang". Akumulasi Genesis-Yes versi Jawa etnik menjadi bagian pada nomor "Kebo Jiro". Lirik-lirik puitis dengan gaya bahasa metafora bertemakan kondisi tanah air teraktual masih menjadi senjata ampuh mengulang sukses lagu "Malaria". Gitar-gitar groovy Albert Warnerin terkadang mengajak bergoyang di tengah-tengah ramainya musik-musik etnik disambut pula dengan rentetan harmonika Harry Potjang. Suguhan musik balada pun disampaikan pada nomor ke-4 sisi ke 2 album yang direkam di Maestro Rec Studio di bilangan Bandung dengan judul "Semut".

Nomor "Lembe-Lembe" begitu meriah dan menyenangkan dengan penggunaan berbagai alat tradisional sebagai melodi utama. Inilah "Lembe-lembe" yang saya dengarkan pertama sebelum adanya gerakan aransir ulang kembali pada lagu daerah yang sukses dilakukan oleh White Shoes and The Couples Company" baru-baru ini. Inilah yang diharapkan oleh Harry Roesli dengan pembuatan album ini dan semoga gerakan-gerakan seperti ini kembali merebak dan mengingatkan para muda-mudi untuk menghargai musik asli milik tanah air.

Produksi kaset yang sangat terbatas serta kualitas musik yang dibuat oleh Harry Roesli dkk membuat album ini kini menjadi buruan para kolektor rilisan fisik. Transaksi pada "Cassette Store Day" hari ini pun pasti mengikutsertakan album legendaris ini dengan bandrol tinggi. Untuk itu saya ingin mengucapkan "Selamat berburu!" bagi para kolektor dan "Selamat datang kembali!" pada rilisan format kaset.

Tuesday 3 September 2013

"To The So Called The Guilties" & "Djadikan Aku DombaMu" (1967) : Bukti Murni Label "The Beatles Indonesia"


Tak bisa dipungkiri kedatangan Metallica kemarin begitu menarik perhatian semua orang. Begitu juga dengan saya, namun sayang secara pribadi tak bisa merasakan animo masyarakat secara langsung apalagi menghadiri konser megah yang disinggahi pula oleh orang nomor satu DKI Jakarta, Bapa Joko Widodo alias Jokowi. Sebuah topik mengenai pemberian sebuah gitar bas milik Robert Trujillo kepada Pak Jokowi mengawali berbagai hingar bingar di media massa dan elektronik yang menghasilkan isu-isu menarik, menuai pro dan kontra, serta mengundang segudang tanya. Namun ketika saya mencoba menikmati animo imitasi melalui canggihnya dunia maya, saya dikejutkan oleh satu kabar berita yang bisa dibilang tak ada hubungannya dengan berbagai atribut hitam-hitam dan raungan distorsi James Hetfield. Kabar ini datang dari pemuda-pemuda yang membesut tembang-tembang "ngak-ngik-ngok" The Beatles dan strategi pemasaran ala kekeluargaan "Everly Brothers", Koes Bersaudara atau yang di kemudian hari dikenal dengan Koes Plus.

Diberitakan 3 jenderal sisa-sisa perang industri musik Indonesia, Yon Koeswoyo, Yok Koeswoyo, serta Kasmurry atau dikenal dengan Murry merencanakan sebuah reuni di bulan September mendatang di Kota Solo dan Jakarta. Wacana ini tidak menjadi isu belaka dengan hadirnya mereka di salah satu acara di Malang untuk mengawali 2 buah konser nostalgia generasi 70-an. Memang kemampuan mereka sudah dibatasi oleh umur, jauh berbeda dengan kondisi personel Metallica yang walaupun berumur masih tetap tampil gila. Tapi kesamaan nilai ada pada momen ini, "Kapan lagi bisa lihat mereka?" sehingga tak muluk-muluk jika konser legenda Indonesia ini disandingkan dengan dewanya para headbangers. Maka dengan berat hati dan mohon maaf kepada para penggemar Metallica, izinkan saya bercerita panjang lebar mengenai 2 buah album Koes Bersaudara. (Tunggu tanggal mainnya untuk para penggemar Metallica.)

1967, merupakan tahun penting pada industri musik dunia. Berpuluh-puluh album meluncur untuk didengar para audiens dan di kemudian hari menjadi permata yang dicari-cari oleh setiap generasi selanjutnya. Tersebutlah, "Disraeli Gears" milik Cream, album debut David Bowie, duo album awal milik The Doors, "The Doors" dan "Strange Days", album debut The Jimi Hendrix Experience "Are You Experienced" dan Pink Floyd "Piper at The Gates of a Dawn", album akar dunia progresif The Nice "The Thoughts of Emerlist Davjack", album pop art Andy Warhol "Velvet Underground and Nico" hingga duet album sejarah terbesar musik abad 20 "Sgt. Peppers Lonely Hearts Club Band" dan Magical Mistery Tour". Daftar ini akan membuat satu buah judul baru untuk review ini karena masih banyak lagi album yang saya sengaja tak sebut. Tapi jika bercerita dengan konteks dalam negeri, rasanya ada yang kurang pada daftar tersebut. Ya, setelah sempat meluncurkan berbagai single, EP dan satu album debut di tahun 1965, Koes Bersaudara meluncurkan 2 buah album legenda Indonesia. Pertama, "To The So Called The Guilties" dengan cover album meniru "With The Beatles", lalu dilanjut dengan album EP piringan hitam 10 inci "Djadikan Aku Domba-Mu". 

Nama Koes Bersaudara ini sudah berada di atas angin hingga ketika puncaknya bersamaan dengan puncak kondisi pemerintahan di tahun 1965. Karirnya ini dirintis sedari kecil ketika Tonny Koeswoyo membentuk band di tahun 1952 bernama Teenager's Voice yang kemudian berganti nama menjadi Irama Remaja. Konon, Sophan Sophian, aktor kenamaan di era 70-an, sempat menjejakan kaki di Irama Remaja ini. Tak lama Koes Brothers menjadi nama pilihan mereka dengan terselip kembali satu nama legenda di luar keluarga Koeswoyo yaitu Jan Mintaraga, yang di kemudian hari dikenal sebagai komikus.

Di awal tahun 1960 panji Koes Bersaudara pun diusung anak-anak dari kota Tuban ini. Awal karir rekamannya berawal ketika mereka mencoba melamar kepada Mas Yos dengan nama lengkap Soejoso Karsono, pemilik perusahaan rekaman pertama di Indonesia, Irama Records. Lamaran tersebut diterima setelah dilakukan audisi oleh Jack Lemmers yang merupakan penata musik dan music supervisor Irama Records pada saat itu. Koes Bersaudara datang membombardir ketenaran penyanyi solo Rachmat Kartolo, Jules Fioole,  serta Alfian dengan membuat segudang singles seperti Bis Sekolah, Pagi Jang Indah, Selalu, Awan Putih, serta Kuduslah Tjintamu. Di tahun 1965 Koes Bersaudara berkesempatan untuk merilis album debutnya dengan hitsnya "Dara Manisku" serta beberapa hits yang telah direkam sebelumnya.

Satu kontroversi yang biasa orang salah tangkap. Koes Bersaudara, bukan Koes Plus, dibawa masuk penjara oleh Bung Karno setelah sebelumnya nama mereka disebut-sebut dalam pidatonya. Satu kisah menarik dari peristiwa ini merupakan buah cerdiknya pemikiran Bung Karno. Melalui pengakuan Yok Koeswoyo pemenjaraan mereka tidak sekedar anti-kapitalisme Bung Karno, tapi merupakan alih-alih melakukan strategi untuk mengganyang Malaysia. Gembar-gembor ini agar mereka dapat masuk ke dalam pasar Malaysia dan mengobrak-abrik budaya Malaysia. Dapat dikatakan bahwa Bung Karno memberi misi kenegaraan kepada Koes Bersaudara. Inilah akar dari apa yang menjadi sebuah legenda. Pengalaman mereka di dalam kamar 15 Penjara Glodok. 

2 Album yang rilis di tahun 1967 ini tidak seperti album dan single sebelumnya yang direkam di Irama Records, melainkan di Mesra Records milik mantan perwira AURI bernama Dick Tamimi dengan alat-alat terbaru pada masanya. Jika di zaman sekarang orang banyak menyebut bahwa Koes Bersaudara atau Koes Plus adalah Fab Four-nya Indonesia, di saat inilah mereka benar-benar membawa spirit The Beatles kepada karya musiknya, walaupun pada saat itu The Beatles yang asli sudah berjalan jauh meninggalkan musik lamanya. Dimaklumi pada era itu waktu belum termampatkan sehingga informasi tidak diterima secepat sekarang.The Beatles yang Koes Plus kenal saat itu adalah pemuda Liverpool berponi rata sedikit di atas alis dengan menggunakan jas yang seragam. 

Gertakan simbal crash di awal album "To The So Called The Guilties" yang berlanjut dengan nada-nada rock n' roll mengingatkan pada The Beatles era moptop. Lagu-lagu seperti ini menjadi simbol rebel anak muda saat itu melawan masa Orde Lama yang telah banyak mengekang gaya hidup mereka. Kemudian hantaman vokal Yon Koeswoyo pada lagu "To The So Called The Guilties" dengan vokal latar menembangkan judul lagu memaksa Nomo Koeswoyo untuk unjuk gigi dengan variasi beat snare drum yang ganjil nan jahil. Ini merupakan buah dari perenungan mereka di dalam penjara yang disajikan di album ini bersama dengan lagu "Di Dalam Bui". Balada ini menggabungkan harmonisasi vokal jenis "Everly Brothers" serta "Simon & Garfunkel" versi Melayu. Sedikit lead Tonny Koeswoyo yang mudah diingat mengisi pula di tengah lagu.

Ada pula nada-nada romansa yang ditawarkan gamblang dengan lirik "I love you" yang diulang pada "Three Little Words". Lirik-lirik seperti ini memang masih menjadi andalan musisi Indonesia era itu, namun cukup mengejutkan ketika tema fiksi ilmiah dipilih mereka untuk ditampilkan pada nomor "Bintang Mars" yang berisikan keoptimisan mereka akan eksistensi makhluk hidup di planet lain. Absurditas lirik "Apa Sadja" pun menjadi inovasi lirik tematik dari Koes Bersaudara. Satu catatan penting pada track "Apa Sadja", praktek backing vokal falseto The Fab Four sangat berhasil setidaknya melabeli diri mereka sebagai The Beatles-nya Indonesia. 

Tonny Koeswoyo sangat berperan dengan menghasilkan berbagai rock n' roll riff yang easy listening didukung pula dengan dentuman bass Yok Koeswoyo yang begitu terasa di nomor "Poor Clown". Karakter Yon yang enerjik menampilkan vokal yang meledak-ledak pada lagu ini serta beberapa lagu lainnya seperti "Untukmu", "Bintang Mars", "Apa Sadja" serta "Voorman". 

Lain album lain cerita pula. Berbeda dengan album "To The So Called The Guilties", album EP "Djadikan Aku DombaMu" memberikan sisi kalem Koes Bersaudara dengan kemasan 8 buah track balada secara intens. Kekonstanan mereka menyajikan balada-balada tidaklah membuat bosan kuping para pendengar. Di album ini saya merasakan masuknya musik-musik jenis gerejawi yang tak ketinggalan efek gaung pun begitu terdengar di EP ini. Entah datang dari mana influens musik seperti ini sehingga balada-balada ini terasa megah tanpa perlu tambahan-tambahan alat orkestra. 

Jagoan saya pada album ini ada pada 3 track berurutan "Rasa Hatiku", "Djadikan Aku Dombamu", serta "Aku Berdjandji". "Rasa Hatiku" memang hanyalah standar musik pop cengeng biasa tapi jika diperhatikan ada satu elemen komposisi lagu yang ingin sekali dibincangkan dan dipertanyakan. Vokal latar yang kadang lebih menyerupai suara dengungan nyamuk. Apa maksud dari penambahan vokal ini? Saya rasa fantasi psikedelia belum saatnya ada di Indonesia pada saat itu karena The Beatles dengan "Sgt. Peppers" nya pun baru rilis di tahun yang sama. Apakah mereka merupakan "beatnik" yang telah meramalkan akan adanya tren baru di penghujung dekade 60-an. Segala pertanyaan ini perlulah disimpan baik-baik dan perlu ditanyakan apa yang menjadi ide penambahan segmen tersebut kepada para jenderal musik pop Indonesia ini. Kali ini cukup nikmati saja dengungan nyamuk itu yang hanya ada pada lagu ini dan sedikit pada track akhir "Bilakan Kamu Tetap Disini".

Teknik dekresendo dan kresendo yang berujung pada nada-nada gitar yang minor menjadi andalan pada tembang "Djadikanlah Aku Dombamu". Track ini cukup suram untuk lahir di era itu. Satu buah fakta menarik pada album ini tidak ada kesesuaian teks judul antara yang tertulis pada sleeve, piringan hitam, serta judul album. Pada sleeve tertulis "Djadikan Aku Dombamu", pada piringan hitam tertulis "Djadikanlah Aku Dombamu". Ini juga mengulang kesalahan penulisan pada track "Untuk Ajah Dan Ibu" yang tertulis "Untuk Ajah Serta Ibu" pada sleeve.

Sedangkan pada "Aku Berdjandji", kunci intro ini begitu familiar bagi masyarakat Indonesia era 2000an karena begitu mirip dengan kunci yang dibawakan Naif pada single album kompilasi "The Best of Naif" yang rilis tahun 2005, "Air dan Api". Tidak pernah ada klarifikasi antara kesamaan kunci pada kedua lagu ini, yang jelas Keluarga Koes + Murry memang menjadi influens mereka dalam bermusik. Dengarkan pula fase bridge "Bila cinta padamu abadi", "Bila slalu untukku hatimu" atau "Bila slalu untukku hidupmu". Melodi gitarnya begitu menarik bukan? Jika ya, tak dapat diragukan lagi kemampuan Tonny Koeswoyo sehingga mendapat julukan Bapak Musik Pop Indonesia. 

Jika pendengar tidak terbiasa mendengarkan lagu memble dan agak bosan dengan rentetan lagu balada-balada ini, pendengar akan cukup dimeriahkan oleh lagu "Bilakan Kamu Tetap Disini" yang merupakan balada yang dinyanyikan cukup semangat oleh Yon. Lagu ini membuat komplet album EP ini di penghujung album. 

Inovasi-inovasi menjadi buah dari misi Bung Karno kepada mereka. Segala isu yang menyerang mereka tidak membuat mereka salah jalan malahan menginspirasi mereka dalam berkarya sehingga menjadi tameng dari serangan-serangan media pada mas itu. Dengan adanya album ini jati diri Koes Bersaudara (yang walaupun tetap dikatakan mengikuti The Beatles). Inilah cetak biru dari permainan musik mereka selanjutnya.

Kedua album ini menjadi album rilisan 1967 yang mendapat label "wajib hukumnya" untuk didengar. Jika "Sgt. Peppers Lonely Hearts Club Band" dan "Magical Mistery Tour" menjadi album  yang mengubah corak musik pop dunia, kedua album ini saya katakan pula album yang demikian namun untuk industri musik pop Indonesia. Jika mengaku orang Indonesia jangan pernah melewatkan album yang satu ini dan jangan pula ketinggalan menikmati animo konser reuni mereka.


Wednesday 21 August 2013

We Are The 21st Ambassadors of Peace & Magic (2013) : Memori Dalam Balutan yang Trendi



Selera musik saya ini bermula dari tumpukan kaset milik ayah di gudang rumah saya. Dan layaknya pemuda Indonesia yang mengalami masa mudanya berada di era 70-an, The Beatles dan Deep Purple menjadi idolanya. Nama merekalah yang terpampang di beberapa kaset lusuh yang membuat saya tertarik untuk mendengarkannya. Virus-virus audio ini mengancam saya, dan kalau meminjam kata-kata teman saya antibodi dalam tubuh saya tak sanggup untuk menahannya. Bertahun-tahun setelah berlabuh pada daratan audio ini dan berbagai ekspedisi telah banyak dilakukan, selera saya pun berkutub pada dunia masa lalu terutama dekade 60 dan 70. Sehingga tak banyak musik masa kini yang saya kenal.


Berbeda ceritanya dengan band yang satu ini, peribahasa "cinta pada pandangan pertama" mungkin saya plesetkan menjadi "cinta pada pendengaran pertama". Irama catchy disertai kedinamisan tempo hits "Shuggie", mengganggu dan memaksa saya bertanya pada teman saya lagu milik siapa yang diputarnya. Arah navigasi ekspedisi terbaru ditetapkan.

Album ini menambah beberapa band masa kini di music library saya. Duo Sam France dan Jonathan Rado ini memang tak jauh-jauh kutub permusikannya dengan selera musik saya. Dua bocah nakal melakukan eksperimentasi warna suara psikedelia di dalam kemasan yang trendi atau mungkin singkat kata saya selalu ingin menyebut genre mereka sebagai "Neo psych nan jahil".

Pencarian identitas bermusik mereka telah dilakukan sejak awal masa pubernya dengan menghasilkan 36 track yang memamerkan keliaran akan penggunaan alat musik ibarat balita bertemu dengan mainan-mainan barunya. Penggunaan secara etis maupun tidak, beragam alat musik asing yang konon mereka beli dengan bantuan kecanggihan koneksi jejaring jual beli ini, menjadikan arus kuat untuk membawa pendengar terhisap lebih dalam pada lubang hitam yang telah mereka gali. Atau bisa pula seperti saya yang tak mengikuti arus sequence-nya tergoda untuk mengenal mereka lebih dalam melalui album ketiganya yang sudah matang lalu melakukan napak tilas ke titik awal duo indie ini. 

Tidak jauh berbeda dengan album debut, penggunaannya kini disajikan lebih efisien dengan menempatkan unsur lain selain alat-alat musik melainkan paduan suara anak pada "On Blue Mountain", atau dialog sahut-sahutan antara vokal dan vokal latar pada single "San Fransisco", sedangkan synthesizer dan efek vokal sebagai jawaban dari efisiensi alat musik yang digunakan. Namun jika masih ingin mendengar beberapa asupan audio dari permainan mereka pada alat musik asing, mereka tetap menawarkan satu track instrumental "Bowling Trophies" dibungkus dalam sound reverb yang tebal dan "In The Darkness" yang agak mengingatkan saya pada lagu pembuka album nomor 1 versi Rolling Stones, "Sgt. Peppers Lonely Hearts Club Band". Tak terlalu mengejutkan bila kunci-kunci blues hampir tersemat di setiap lagu untuk membantu membentuk suasana retro. Tapi pergantian tempo yang tiba-tiba seperti pada "On Blue Mountain", "Shuggie", "We Are The 21st Century Ambassadors of Peace & Magic" , praktis membuat saya terkejut tak yakin pembawaan musik progresif terbawa pada bocah 22 tahun yang kekininan. Momen ini mengulang "TV Pro" milik "The Vines" yang berhasil merebut perhatian saya. 

Di satu sisi vokal Sam France tidak memiliki nilai yang menarik namun pembawaaanya yang tak berselera menyajikan memori akan Lou Reed dan balada-balada awal Rolling Stone (Rasa seperti ini sudah pernah terjadi sebelumnya di Indonesia ketika Deddy Stanzah menyanyikan "It's All RIght" untuk album duetnya bersama Gito Rollies) yang kental terasa di "No Destruction" dan versi lebih genitnya pada "San Fransisco". Terkadang rasa Serge Gainsbourg dan "French pop" nya pun membahana pada cara bernyanyi Sam yang seperti bertutur kata.

Beberapa unsur di atas ini dapat tersusun dengan baik tanpa membentuk fraksi, melainkan menghasilkan sebuah keseimbangan antara suasana tempo dulu dengan balutan sound zaman sekarang, bahkan bisa dibilang masa depan. Namun tanpa ofensif, secara lirikal album ini sama halnya dengan rata-rata band yang lahir di era millennium, nonsens dan deskriptif. 

Kekayaan eksplorasi yang duo ini tunjukkan mampu mengatasi segala kekurangannya dan menjadikan kejutan dan memori di setiap nomornya sebelum mencapai titik klimaks psikedelia trendi pada "We Are The 21st Century Ambassadors of Peace & Magic". Virus dyslexia dan rhythm repetitif Mothers of Invention pada "Help I'm a Rock" menjadi buku panduan permainan mereka sebelum beralih pada tempo yang lebih lambat untuk segera melesat kembali. Dua kali gangguan digital audio sesaat sebelum fase interlude yang dimeriahkan oleh tepukan tangan berlanjut pada outronya yang lemas  mengantarkan pada tembang galau "Oh No 2" yang membawa perjalanan "spiritual" kepada sebuah solusi di penghujung album.


"If you believe in love 
Everything you see is love 
So try to be what God wants you to be 
And say that I love you again"


Sangat frontal memang memasang embel-embel atau menjuluki diri pada sebuah judul album. Walaupun saya tidak menyetujuinya 100%, namun bolehlah sebuah jabatan "duta abad 21" bagi "peace & magic" -yang identik akan era hippie- tersemat pada kedua bocah berandalan ini. Namun saya akan tunggu bagaimana hasil periode menjabat mereka selanjutnya. Jangan kecewakan!






Sunday 18 August 2013

The Soft Parade (1969) : Menilai Positif Sebuah Kontradiksi


Sebuah review di sputnikmusic.com berkesimpulan "The Doors' fourth album is not the first you'll want to pick up". Tapi itu tidak berlaku pada saya. 

Tidak ingat sejak kapan suara Mr. Morrison menemani di music library saya tapi "The Soft Parade" mempunyai daya tarik tersendiri bagi saya. Entah sadar atau tidak album ini merupakan album The Doors yang saya miliki pertama kali secara fisik. 

Banyak orang mungkin bersebrangan paham dengan saya dan bergabung dengan teori spunikmusic.com. Bagaimana fenomenalnya album debut mereka disusul dengan "Strange Days" sembilan bulan kemudian - dengan artwork cover yang menurut saya one of the best artwork have ever seen - sangat sulit untuk dikalahkan album - album berikutnya. 

"The Soft Parade" dirilis di tahun 1969 di mana nama The Doors sudah digilai jutaan fansnya dan tentunya menjadi hal yang lazim bagi seorang idola di masa puncak karirnya, hidup berantakan ala rock n' roll. Tak perlu diceritakan kembali dua buah konser kontroversial mengawali perjalanan menuju album ini. Gonta-ganti wanita dan bermacam substans mewarnai hidup sang vokalis. Alhasil, proses rekaman untuk album ini menghabiskan waktu 11 bulan.

Sebelas bulan kemudian sembilan buah lagu dijagokan Paul Rothchild untuk menembus pasar dunia.  Sungguh ironi apa yang mereka alami dengan karya yang mereka hasilkan membuat saya gatal untuk berpikir "Apa yang ada di otak mereka, terutama Jim, untuk memasukkan unsur orkestra yang cukup mendominasi?". Orkestra yang begitu identik akan keteraturan di tengah kehidupan yang sudah seperti kapal pecah. Saya tak dapat berhipotesa dan hanya bisa terkesima menikmati hasil karya mereka satu per satu.


"Tell All The People" dibawakan begitu berwibawa dan megah membuat lupa akan sosok arogan Jim Morrison yang dibangun melalui liriknya. Disusul hit single "Touch Me" begitu klimaks dengan outro tiba-tiba "Stronger than dirt". Terasanya dominasi Ray Manzarek yang berkurang digantikan oleh kekuatan magis string Robby Krieger juga merupakan salah satu hal menarik pada album ini. Begitu menanjak sesuai urutan; dari petikan apik nan seksi Krieger pada "Easy Ride", riff "Wild Child" yang membuat Manzarek tunduk, dan "Runnin Blue" yang menampilkan potongan bluegrass memaksa bantuan permainan mandolin oleh Jesse McReynolds di tengah lagu begitu padu dengan orkestra yang indah. "Wishful Sinful" dengan bentangan vokal bariton Jim Morrison mengalun membantu menenangkan pendengar sebelum diserang oleh karya penutup.

Tembang epik berdurasi delapan menit dimulai dengan monolog liar dan isi lirik sureal yang entah apa maksudnya perlu ditanyakan langsung pada mendiang Jim Morrison. Namun bagaimana bagian demi bagian terbangun begitu indah dengan transisi yang menawan membuat saya setuju akan ucapan terbata-bata Jim di tengah lagu "This is the best part of the trip, this is the trip, the, best part, I really like". Sebuah seksi beridiom floral merayap masuk mengakhiri seksi akustik sebelum berjanjut ke vokal rangkap Jim Morrison yang membuat ia layaknya benar-benar sedang memimpin sebuah parade. Kembali mengingatkan akan lirik penegasan track pertama album ini "Follow me down". 

Sebuah album yang tidak seburuk apa kata orang. Banyak fans yang merasa kehilangan identitas The Doors di album ini dan menganggap mereka bukan The Doors. Namun coba sadari inilah mereka dan saya tegaskan inilah sisi lain kreativitas The Doors!

Friday 16 August 2013

(1 + 5) Album Dirgahayu Republik Indonesia ke-68 : Album Sang Presiden


Saat gonjang ganjing masa kepresiden SBY di tahun 2007, beliau tiba-tiba melakukan sebuah spekulasi yang membuat kebanyakan masyarakat geram. Rilislah sebuah album musik pop berjudul "Rinduku Padamu" yang berisikan 9 buah karya dari tangan sang presiden Republik Indonesia tercinta ini.  "Kondisi negara sedang berantakan kok malah buat album?" , begitu mungkin kebanyakan masyarakat Indonesia berkomentar. Tak sedikit pula yang mendukung kesenangan Sang Presiden dalam berkesenian terutama seni musik (Konon beliau mempunyai grup band saat di Pacitan tahun 1960-an, penasaran?). Didukung oleh orang-orang yang besar di industri musik Indonesia seperti Darma Oratmangun, Jimmy Manopo, serta Purwacaraka mengundang banyak pro kontra.
Tapi jangan salah ini bukan yang pertama terjadi di republik ini. Untuk mengenang dirgahayu Republik Indonesia yang ke-68, berikut 5 album tambahan yang berhubungan dengan orang nomor wahid di negeri ini.

1. Various Artists - Mari Bersuka Ria dengan Irama Lenso. (1965)
Sang Proklamator lah yang pertama membuat album musik populer. Memang hanya satu lagu saja ia berperan langsung dalam tembang "Bersukaria" sebagai songwriter. Namun ide dibalik paketan musik ini jelas - jelas dari beliau. Mengingat tak sukanya Bung Karno akan paham imperialisme dan kapitalisme, Beliau mengajak rakyat Indonesia meninggalkan musik "ngak-ngik-ngok" dengan membuat langgam musik baru yaitu lenso. Tak ketinggalan lagu kontroversial paham komunis dimasukkan ke album ini. "Gendjer-Gendjer" versi Bing Slamet membahana di awal sisi kedua piringan hitam 10 inci ini. Sisanya diisi dengan lagu daerah seperti "Soleram", "Euis", masterpiece keroncong ciptaan maestro Gesang, "Bengawan Sala", serta lagu anak "Burung Kakatua". Dan menariknya lagi semuanya itu dibawakan dalam irama lenso di bawah pimpinan orkes Jack Lemmers.

2. Lilis Suryani -  … Ia Tetap di Atas!! (1965)
Legenda penyanyi wanita Indonesia Lilis Suryani diundang oleh Bung Karno untuk menyanyi di Istana Negara karena munculnya "Untuk PJM Presiden Sukarno" sebagai lagu pembuka pada album ini. PJM sendiri merupakan singkatan dari Paduka Jang Mulia. Ini masih tidak berlebihan jika mendengar lebih cermat isi lagunya yang lebay yaitu mengagung-agungkan Bung Karno. "Kan ku doakan ke hadirat Ilahi smoga paduka tetap sejahtera selalu, betapa bahagia rakyat Indonesia dalam bimbingan yang mulia" Jika melihat dari sudut pandang 48 tahun kemudian Sutedjo, sang pengarang, memilih kata-kata yang tepat namun sungguh ironi dengan kondisi negara saat itu yang sedang panas-panasnya. Lagu ini saya kira alih-alih doktrinasi secara paksa dari Bung Karno. Dilengkapi dengan "Gendjer-Gendjer" yang nantinya dikaitkan dengan PKI, album ini menjadi album fenomenal milik Lilis Suryani.

3.Onny Surjono - Siapa? (1965)
Produk latah dari Onny Suryono dikemas di album rilisan Remaco ini. Lagu berjudul "Bung Karno Djaja" yang menutup album ini sepertinya memang karya tandingan dari "Untuk PJM Presiden Soekarno". Saya melihat "Bung Karno Djaja" hanya menjadi strategi komersil mencoba mengulang sukses Lilis Suryani. Lainnya merupakan lagu pop tanpa berbau politik atau berkenaan dengan Sang Presiden.

4. Various Artists - Souvenir Pemilu 1971 (1971)
Kini giliran Pak Harto yang mencoba mencari perhatian masyarakat lewat jalur industri musik. Tampilan cover yang sangat Golkar - pohon beringin dengan latar warna kuning - dibintangi oleh Bing Slamet (Sebelumnya mengambil hati Bung Karno di album "Mari Bersuka Ria dengan Irama Lenso", kini pada Pak Harto), Vivi Sumanti, Ellya Khadam, serta Tanty Josepha. Lagu "Pohon Beringin" karya Suwandi yang menjadi andalan dari album ini dinyanyikan oleh Bing Slamet. Untuk melengkapi album propaganda ini disisipkan kembali lagu- lagu daerah yang tak sekadar lagu daerah biasa. Memang dari awal membuat album untuk tujuan propaganda maka tak heran jika kalimat "Politik? No! Pembangunan? Yes!" terucap di awal lagu "Tandjung Ou Ulate". Ada pula pengambilan lirik dari lagu "Bersukaria" ciptaan Bung Karno bertajuk sinisme. "Siapa bilang Bapak dari Blitar, Bapak kita dari Tanjung Enen. Siapa bilang sayang Golkar, jangan lupa cium beringin."  Selebihnya tak jauh-jauh dari cuplikan di atas.
5. Kelompok Kampungan - Mencari Tuhan (1980)
Tidak pernah saya dengar komplit album ini  tapi terselip satu buah lagu dengan judul "Bung Karno"  dengan pidato Bung Karno yang membuat saya merinding di awal tembang. Coba tengok beberapa ulasan mengenai album ini dan saya sisipkan satu ulasan favorit saya oleh Taufiq Rahman. Kabar baiknya, album ini telah direissue oleh Strawberry Rain Music di pertengahan tahun ini.







Di penghujung mungkin enaknya saya mengucapkan Dirgahayu Republik Indonesia!