Menanggapi hari raya para kolektor musik rilisan kaset "Cassette Store Day" pada tanggal 7 September 2013 tak sanggup menahan diri untuk menceritakan sebuah album format kaset yang pernah ramai di ranah industri musik Indonesia. Sebuah kerja sama antara majalah populer terkemuka dengan musisi muda yang merupakan cucu dari pujangga kenamaan Indonesia, Marah Rusli. Djauhar Zaharsyah Fachrudin Roesli yang kita kenal dengan Harry Roesli, seorang budayawan yang dikenal brewokan dan baju serba hitam sebelum era mentalis Deddy Corbuzier. Karya-karyanya yang ceplas-ceplos memang sangat "Bandung pisan!" menjadi karakternya sedari muda. Ulahnya memang tak pernah ada matinya hingga julukan "Si Biang Bengal Bandung" atau "Si Budak Bangor" disematkan padanya.
Harry Roesli muda pun sama dengan pemuda pada zamannya yang gandrung ngeband bersama teman-teman satu gang-nya. Adalah The Gang of Harry Roesli dengan satu-satunya rilisan piringan hitamnya, "The Philosophy Gang", kini menjadi bongkahan emas para kolektor.
"Musik mikir" progresif yang kala itu sedang menjamur sangat menginfluens sehingga kata "putus sekolah" pun menjadi sebuah keputusan yang mengejutkan bagi seorang mahasiswa Teknik Mesin ITB ini. Akhirnya beliau melanjutkan sekolahnya di IKJ dan keahlian bermusik untuk menembus jajaran progresif pun dibayar dengan sekolah musik elektronik di Belanda.
Tak hanya pada diri Harry Roesli saja, budaya populer yang saat itu melanda Indonesia sangat banyak membentuk berbagai gaya hidup yang baru. Sebuah majalah populer dengan nama Aktuil merupakan salah satu imbas positifnya. Mulai beredar sejak tahun 1967 menghasilkan berbagai jurnalis musik hingga budayawan terkemuka yang kini menjadi panutan saya. Saya sendiri agak bingung dengan kondisi negara saat itu bila membaca majalah Aktuil tersebut. Di balik kisah utama yaitu dunia hiburan terselip kata-kata vulgar nan berani yang akan memicu sifat rebel anak muda saat itu bisa beredar bebas di pasaran Orde Baru yang terkenal sangat menutup mulut pers. Bisa dibilang inilah majalah populer terbaik yang pernah ada di negeri Ibu Pertiwi.
Sebuah lagi tren gaya hidup baru tahun 70-an. Media rekaman saat itu memang berpusat pada piringan hitam, namun datangnya format kaset musik tahun 1965 oleh Mercury Records menjadikan media audio alternatif di era tersebut. Indonesia yang sebagian merupakan negara berkembang dengan penduduknya yang berekonomi menengah memilih kaset sebagai format utama untuk mendengarkan rekaman musik. Hukum Indonesia yang lemah (dan memang hingga saat ini) menjebak kreativitas anak muda untuk membuat kaset bajakan hasil rekam sendiri. Perusahaan rekaman sistem ini merebak hingga muncullah nama-nama seperti Yess, Mona Lisa, serta Apple Records dan masih banyak lagi di kota-kota besar Indonesia. (Nama-nama besar ini mati setelah klaim Bob Geldof akan peristiwa dibajaknya konser donasi Live Aid).
Tren-tren ini akhirnya berujung pada sebuah mahakarya album "Titik Api". Kerja sama antara perusahaan majalah Aktuil dan Harry Roesli yang sama-sama berdomisili di Kota Bandung direkam di sebuah kaset stereo berdurasi 60 menit. Di album ini Harry Roesli mengikut sertakan teman-teman dari gangnya seperti Albert Warnerin, Hari Pochang, dan Indra Rivai, teman-teman "ngabaong" lainnya serta puluhan alat musik modern dan tradisional. Saya melihat pula nama Kania dari Kelompok Sinden Kharisma pada urutan nama paduan suara yang menciptakan praduga bahwa wanita ini merupakan istri Harry Roesli di kemudian hari. (Ada yang tahu kebenarannya?)
Konsep wayang menjadi konsep utama pada album ini. Artwork berupa gunungan, kata nayaga, sinden, sinden pengiring, serta wadytra tertera menjadi kata ganti jabatan susunan pemain, serta pembagian babak menjadi ide pembagian sisi pada kaset terlihat dengan adanya track "Prolog" dan "Epilog" di awal dan akhir sisi kaset.
Penggunaan suara-suara absurd dari barang sehari-hari menjadi produk "baong" Harry Roesli di awal dan akhir album. Di awal "Sekar Jepun" terdengar suara deritan pintu berkali-kali, sedangkan pada akhir Epilog sisi kedua terdengar renyahnya bunyi kerupuk. Musiknya sangat jelas menjadi ajang unjuk gigi keahlian mereka serta akulturasi dengan musik etnik terutama Sunda. Berbagai lagu tradisional diangkat kembali dengan musik yang modern nan intens seperti nomor "Sekar Jepun", "Jangga Wareng", "Kebo Jiro" serta "Lembe-Lembe".
Adapula nomor "Merak" yang merupakan reissue dari "Peacock Dog" pada album "Philosophy Gang". Akumulasi Genesis-Yes versi Jawa etnik menjadi bagian pada nomor "Kebo Jiro". Lirik-lirik puitis dengan gaya bahasa metafora bertemakan kondisi tanah air teraktual masih menjadi senjata ampuh mengulang sukses lagu "Malaria". Gitar-gitar groovy Albert Warnerin terkadang mengajak bergoyang di tengah-tengah ramainya musik-musik etnik disambut pula dengan rentetan harmonika Harry Potjang. Suguhan musik balada pun disampaikan pada nomor ke-4 sisi ke 2 album yang direkam di Maestro Rec Studio di bilangan Bandung dengan judul "Semut".
Nomor "Lembe-Lembe" begitu meriah dan menyenangkan dengan penggunaan berbagai alat tradisional sebagai melodi utama. Inilah "Lembe-lembe" yang saya dengarkan pertama sebelum adanya gerakan aransir ulang kembali pada lagu daerah yang sukses dilakukan oleh White Shoes and The Couples Company" baru-baru ini. Inilah yang diharapkan oleh Harry Roesli dengan pembuatan album ini dan semoga gerakan-gerakan seperti ini kembali merebak dan mengingatkan para muda-mudi untuk menghargai musik asli milik tanah air.
Produksi kaset yang sangat terbatas serta kualitas musik yang dibuat oleh Harry Roesli dkk membuat album ini kini menjadi buruan para kolektor rilisan fisik. Transaksi pada "Cassette Store Day" hari ini pun pasti mengikutsertakan album legendaris ini dengan bandrol tinggi. Untuk itu saya ingin mengucapkan "Selamat berburu!" bagi para kolektor dan "Selamat datang kembali!" pada rilisan format kaset.

No comments:
Post a Comment