Tuesday 10 September 2013

Hanja Ada Satu / Tahu Tempe (1958) : Menjaga Eksistensi Tahu Tempe


Obrolan makan siang saya tertuju pada sebuah topik yang sedang "in" di berbagai headline-headline berita baik itu media massa maupun media elektronik. Miris memang, tahu dan tempe yang merupakan makanan asli rakyat Indonesia telah diberhentikan produksinya dalam beberapa hari ini. Aksi mogok mengancam para produsen tahu tempe karena harga kacang kedelai impor sebagai bahan utama yang naik tajam ulah nilai kurs dolar yang sedang menguat. Mungkin tak perlu saya berkoar detail-detail, karena berita mengenainya sudah banyak tercetak di berbagai surat kabar.

Di tengah obrolan ini, saya teringat satu lirik pada tembang "Tahu Tempe" yang dinyanyikan biduan legendaris milik negeri ini, Oslan Husein. 

"Tahu tempe kacang kdele
itu makanan utame.
Dimasak pake minyak kelape
hidangan rakyat jelate."

Lirik-lirik ini terasa sangatlah ringan, deskriptif nan banal untuk dijadikan tema sebuah lagu. Terkadang teman saya membuat lirik-lirik milik Oslan Husein ini sebagai lelucon. Setelah menghadapi obrolan berisi di tengah hari ini, kabel-kabel memori amburadul pada otak saya tiba-tiba saja saling menyambung dan tersusun lebih rapi. 

Tahu tempe ini layak untuk dijadikan tema sebuah lagu. Lagu ini akan menjadi bukti nyata bahwa tahu tempe pernah menjadi makanan murah dan beredar luas di negeri ini. Dengan adanya peristiwa ini kekhawatiran eksistensi tahu dan tempe di masa yang akan datang patut dipertanyakan. Siapa tahu anak cucu kita tak akan pernah kenal rasanya. Tak perlulah saya membicarakan rasanya enak atau tidak karena itu sangat subyektif. Namun dengan lagu ini kita tahu bahwa tahu-tempe punya rasa yang cocok dengan lidah orang Indonesia. Simak pula penggalan celotehan Bang Oslan dan kawannya di tengah lagu:

"Tahu, tahu, tempe?/ Berapaan tuh bang?/ 5 perak./ Bungkus 3 deh bang!"

Dialog ini menegaskan bahwa merakyatnya makanan tahu dan tempe itu dahulu. Terbayang pula bahwa di era Bung Karno yang anti kapitalisme/imperialisme sudah jelas impor kacang kedelai tak pernah ada. Paham Marhaenisme milik beliau menginjeksi masyarakat untuk percaya dan bangga menggunakan produk lokal. Seiring berjalannya waktu paham ini bergeser hingga bukan hanya gaya hidup saja yang berkiblat dari barat, tapi tahu dan tempe pun kini gengsi ikut-ikutan tren barat.

Nah, untungnya di album yang memuat lagu "Tahu Tempe" ini, Bang Oslan sudah siap mengantisipasi datangnya rasa gengsi dari makanan-makanan khas jenis lain. Di nomor awal rasa segar "Es Mambo" sudah membuat ngiler para pendengar. "Singkong Rebus" yang empuk dengan kopi seteguk, serta "Nasi Djagung" jelas-jelas membuat perut kenyang di akhir album. Ada pula "Nasi putih sayur labu/ sambel tempe sama tahu" pada penggalan lirik "Sepiring Nasi" yang membuat kita harus kendalikan hawa nafsu. Kembali tahu dan tempe tersebut di nomor "Sandang Pangan"  semakin menegaskan begitu merakyat dan khasnya makanan jenis ini. 

Di samping itu berbagai budaya khas lain diangkat pula untuk dijadikan partner aransemen musik yang aduhai. Mulai dari nomor legendaris "Lebaran" dengan nuansa Timur Tengah, hingga kehirukpikukan suasana "Bis Kota" di ibukota Jakarta melengkapi album yang diiringi oleh orkes Widjaja Kusuma pimpinan M.Jusuf. Kesemuanya itu disajikan dalam musik yang menarik dengan denting glockenspiel, petikan gitar serta permainan apik piano sebagai instrumen utama. Berbagai celotehan di berbagai seksi lagu pun menghiasi beberapa lagunya. Berbagai ritme Latin seperti bossa atau cha-cha menjadi solusi alternatif irama rock n'roll yang dihindari untuk membungkus pola standar lagu nge-pop seperti pada nomor "Sorangan Wae" yang ironinya ditembangkan dengan bahasa Sunda. 

Pada musik Indonesia masa kini mungkin tak akan ditemukan lagi lirik-lirik semacam tahu dan tempe. Bahkan jika jenis makanan masa kini seperti fast food pun dijadikan tema sebuah lagu, saya agak risih membayangkannya. Apa yang ada di bayangan Bang Oslan ini sungguh berani karena hasil sajiannya bukan hanya menarik secara audio tapi tema ini dapat bertahan hingga kini.  Jadi kita patut berterima kasih kepada biduan kelahiran Padang yang mempopulerkan tembang "Andetja Andetji" ini karena dengan adanya album ini kita masih dapat menikmati tahu dan tempe dengan cara yang lain.

"Tahu tempe orang kate
Itu díe lah namanye.
Makanan kite yang istimewa
adanya di Indonesia"






No comments:

Post a Comment